Tuesday, September 23, 2014

MENCARI SOLUSI KONFLIK ANTAR PRAJURIT TNI-POLRI

Keributan antara prajurit TNI dan Polri terjadi lagi. Kali ini lokasinya di Batam dan melibatkan jumlah yang cukup banyak, tergantung pada versi mana yang dipakai (http://www.beritasatu.com/nasional/211659-versi-polisi-kronologi-polisi-vs-tni-saat-operasi-bbm-ilegal-di-batam.html) dan (http://www.beritasatu.com/nasional/211677-kronologi-penembakan-anggota-tni-di-batam-versi-tni.html). Kasus ini berlatar belakang operasi penggerebekan Polri terhadap tempat penyimpanan BBM yg diduga merupakan penimbunan ilegal, namun kemudian terjadi insiden penembakan terhadap 4 prajurit TNI. Kasus konflik antara aparat TNI dan Polri seperti ini, menurut laporan media, tampaknya cenderung semakin meningkat frekuensinya dari tahun ke tahun di berbagai wilayah Indonesia, sehingga tidak mungkin hanya dianggap sebagai suatu fenomena perkecualian atau peristiwa anomali belaka. Korban meninggal atau luka-luka juga sudah cukup banyak akibat keributan tsb, karena keduanya memiliki senjata api (senpi) dan sangat terlatih dalam penggunaan kekuatan fisik (perkelahian). Implikasinya tentu signifikan bukan saja bagi kedua lembaga tsb tetapi juga bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Umumnya, setiap kali kasus seperti ini terjadi maka biang kerok yang selalu dijadikan alasan adalah soal kesejahteraan TNI dan Polri. Seakan-akan jika gaji TNI dan Polri dinaikkan (entah sampai berapa ratus persen), maka urusan keribetan seperti ini langsung menghilang. Alasan seperti ini bukan keliru, tetapi menurut hemat saya, terlalu mudah dan terlalu sepele utk dijadikan landasan bagi penyelesaian masalah yg sangat pelik ini. Hemat saya, soal kesejahteraan, kendati sangat penting, tidak menyentuh pangkal persoalan.

Apa yg dikatakan oleh pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar (BWU), menurut hemat saya lebih mendalam dan patut diperhatikan secara seksama. Sebab, BWU, yg mantan perwira Polri dan seorang akademisi bidang kepolisian yg reputasinya diakui, menggunakan analisa yg menukik pada persoalan struktural dan kultural terkait dengan perkembangan Polri selama pasca-Reformasi. Polri mengalami perubahan yang cukup fundamental selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini yang berdampak positif tetapi juga punya ekses negatif. Kemandirian Polri setelah lepas dari TNI, ternyata tidak dibarengi oleh penguatan perangkat struktural dan manajemen yang bisa menjamin pengawasan dan kontrol yg efektif. Padahal, kemandirian Polri tsb telah memberikan bukan saja pemberdayaan tetapi juga kewenangan yang luas baginya, terutama sebagai alat negara yang berkirpah dalam sektor keamanan dan ketertiban umum. Polri juga merupakan bagian integral dari sistem penegakan hukum (gakkum) yg memiliki keweanang besar dan karenanya juga terbuka thd penyalah gunaan wewenang dan kuasa.

Usulan BWU agar Polri berada di bawah sebuah kementerian dan tidak langsung di bawah Presiden, saya kira, sangat tepat dan sejatinya sudah cukup lama ada di ruang publik. Ini sama dengan status TNI yang juga di bawah Kemenhan, kendati dalam berbagai hal tertentu memiliki kemandidiannya sesuai dengan tupoksinya sebagai elemen utama dalam sistem pertahanan negara. Keengganan pemimpin negara dan para politisi utk melakukan reformasi ini menyebabkan gagasan yg sangat mendasar tsb tidak terwujudkan, dan ini tentu makin menguatkan posisi pihak-2 tertentu dlm Polri untuk memertahankan status quo. Sikap inilah yg kemudian berkontribusi terhadap sulitnya penyelesaian kasus-2 konflik spt di Batam ini, karena hanya akan memakai pendekatan parsial dan paling banter memakai PR. Pemerintah baru nanti seyogyanya tidak tunduk kepada kepentingan pihak-2 yg ingin memertahankan status quo di Polri dan berani melakukan terobosan yg akan mampu memperbaiki kualitas Polri.


Simak tautan ini:

(http://news.okezone.com/read/2014/09/23/339/1042945/polisi-radikal-karena-merasa-lebih-tinggi-dari-tni )
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS