Wednesday, September 24, 2014

PDIP, "TRAH-ISME", DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Perkembangan politik Indonesia tampaknya akan mengalami pemunduran dlm konsolidasi demokrasi sbg tujuan reformasi. Salah satu infikasinya adalah kecenderungan muncul kembalinya gagasan atau ide sentralisasi dan dominasi kekuasaan dlm parpol melalui jalur keluarga atau trah. Trahisme, katakanlah demikian, merupakan kultur politik feodal yg secara diametral bertentangan dh nilai dasar demokrasi yg menjadi dasar negara RI. Ide trahisme ini memang ada legitimadi kulturalnya dlm masyarakat tradisional dan jika digabung dg otoriterisme, maka akan tampil seakan2 legitimate dan sesuai dg budaya politik nasional.
Trahisme sedang dikembangkan justru oleh sementara elit PDIP, parpol yg memenangi baik Pileg maupun Pilpres 2014. Memang gagasan ini belum tentu hegemonik atau menjadi paradigma dominan di parpol yg dipimpin mantan Presiden RI ke 5, Megawati Soekarnopitri (MS) itu. Tetapi karena interlocutor atau penyuara gagadan trahisme tsb adlh figur2 elit partai yg juga sangat berpengaruh dan punua posisi strategis, tentu gemanya akan besar dan bisa jadi akan menjadi makin kuat ketika partai ini berkuada nanti. Penyuara trahisme tak lain adalah Sejen PDIP, Tjahjo Kumolo (TK), dan Ketua Fraksi FPDIP serta putri MS, Puan Maharani ( PM). Keduanya terrang2an menyatakan bhw Ketum DPP PDIP harus keturunan Bung Karno (BK). Alasan kedua tokoh tsb tentu mudah ditebak: utk menjaga spirit ideologi partai, Soekarnoisme, kesatuan, keutuhan, dan soliditasnya.
Secara superfisial, alasan2 seperti tentu masuk akal. Dan bisa jadi mnrt pemahaman anggota dan elit partai juga seperti itu. Bahkan fakta bhw selama bbrp dasawarsa terakhir ini, PDIP mampu bertahan dan menjadi besar sbg parpol adlh karena dipegang pemimpin yg kuat dan kharismatik serta 'tahan banting' yaitu MS. Namun secara substantif, bagi saya, trahisme adalah setback bg partai PDIP, bangsa, dan demokrasi di negeri ini. Mengapa demikian? 1) Trahisme jelas merupakan pengejawantahan budaya feodal yg merupakan anti-tesis dari budaya demokrasi yg diamantkan Pancasila dan UUD 1945; 2) Trahisme tidak akan memberikan kesempatan bagi sebuah proses perkembangan demokrasi dalam parpol dan juga masyarakat Indonesia yang sangat heterogen; 3) Trahisme akan menciptakan sebuah sistem politik tertutup khusunya dalam rekrutmen pemimpin yang berkualitas; 4) Konsolidasi demokrasi akan berbalik menjadi konsolidasi otoriterisme dalam jangka panjang apabila trahisme digunakansebagai paradigma; dan 5) Trahisme berlawanan total dengan realitas Indonesia yang pluralis secara geografis, demografis, dan budaya.
Saya berharap nalar sehat dan visi konstitusionalisme akan unggul di PDIP, sebuah partai yang menjadi salah satu pengawal dan sekaligu penggerak demokrasi di negeri ini.

Simak tautan ini:

http://m.rmol.co/news.php?id=173251
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS