Friday, September 12, 2014

WACANA UU PILKADA, INSTRUMENTALISME VS SUBSTANSIALISME

Pemimpin masyarakat dan/atau bangsa sudah seharusnya memiliki visi kenegarawanan yang substantif, jauh ke depan, tidak terpaku pada kepentingan sempit (diri sendiri, kelompok, parpol), dan akan membawa bangsa dan negaranya berdiri sejajar serta terhormat di antara bangsa-2 maju lainnya di dunia. Variabel-2 itulah yg selalu saya gunakan mengukur (kendati secara kualitatif) apakah para pemimpin -baik yg ada di sektor negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun di sektor masyarakat sipil (ormas, media, cendekiawan, korporasi, mahasiswa, dll), khususnya pada level nasional- layak dikategorikan sebagai pemimpin-2 negarawan dan layak didukung rakyat Indonesia.

Dalam menyikapi persoalan strategis pemilihan eksekutif daerah saat ini, tampak pada saya bahwa para elit baik di ranah negara maupun masyarakat sipil, masih sxangat kurang yang punya kualifikasi di atas. Wacana publik mengenai Pilkada (langsung vs DPRD), sangat terang benderang lebvih didominasi oleh cara berfikir instrumentalistik, mekanistik dan dilandasi oleh wawasan pragmatis jangka pendek. Hampir sulit mencari perdebatan yang beranjak pada persoalan substantif/ filosofis, tentang ketatanegaraan sehingga memungkinkan terjadinya wacana publik yg edukatif bagi rakyat Indonesia. Baik level negara (Pemerintah dan DPR) maupun masyarakat sipil (LSM, media, pengamat, ormas) dan ruang publik terbuka, yg paling sering dijadikan tema wacana adalah terkait apakah soal pemborosan vs ngirit; cepat vs lama; hingar bingar vs tenang, dan sejenisnya.

Padahal masih ada tema-tema substatif, misalnya sejauh manakah Pilkada di Indonesia pasca- reformasi ini telah mencapai tingkat yg cukup tinggi dalam masalah-2 keterwakilan (representativeness); aspiratif (aspirativeness); pertanggungjawaban publik (public accountability); kedalaman dan perluasan dalam berdemokrasi (democratic deepening and widening); dan pendewasaan demokrasi (democratic maturity). Harus diakui bhw wacana substantif seperti itu tidak akan mendapat sosrota media apalagi keriuh-rendahan media sosial. Tetapi jika ihwal substantif itu diabaikan (bahkan oleh para pemimpin pada level yg tertinggi di Pemerintahan), maka sudah barang tentu hasilnya juga akan sangat superfisial dan bahkan saya mengatakan akan menyesatkan.

Presiden terpilih, Jokowi, barangkali salah satu diantara sangat sedikit pemimpin yg bicara pd tataran yg lebih substantif mengenai masalah Pilkada, sebagaimana bisa kita lihat dlm tautan di bawah ini. Beliau menyoroti wacana dan praksis proses pembentukan UU Pilkada di DPR saat ini dg mengedepankanpersoalan substantif dan menjangkau pada masa depan serta dampaknya terhadap kehidupan berbangsa secara luas. Orang boleh saja berbeda pendapat dg beliau, namun tentu juga harus dengan level argumen yg setara. Pandangan Jokowi, tentu tidak relevan dan tdk sejajar jika dibanding, katakanlah, dengan pandangan para politisi dan pengamat serta tokoh-2 ormas yg masih mendasarkan argumen mereka pada soal-soal yg superfisial se[erti pengiritan, pemborosan, kebisingan dll.

Kering dan dangkalnya wacana publik dalam soal Pilkada ini, hemat saya, merupakan petunjuk bahwa elan reformasi dan demokratisasi di Indonesia sedang terancam oleh bahaya pragmatisme dan instrumentalisme. Implikasi negatifnya adalah terjadinya pemunduran dan bahkan bisa pembalikan reformasi yg semula menuju konsolidasi demokrasi menjadi kembali pada otoriterisme melalui formalisme dan sulapan politik di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta ditopang oleh sebagian kelompok dlm masyarakat sipil. Fenomena pemunduran dan pembalikan reformasi dan demokratisasi seperti itu memang terjadi dan dialami di berbagai negara pasca-otoriter, sehigga bukan sebuah 'hil yg mustahal' pula terjadi Indonesia.


Simak tautan ini:

http://www.tempo.co/read/news/2014/09/11/078606072/Pilkada-DPRD-Jokowi-Itu-Bentuk-Elite-Haus-Kuasa



 
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS