Friday, October 24, 2014

APA SIH PENTINGNYA "HARI SANTRI" ITU?

Omongan Syahrul E. Dasopang (SD), Direktur sebuah LSM bernama Indonesia Reform, bhw usulan ttg Hari Santri akan menciptakan konflik antara kaum Santri vs Abangan, hanyalah cerminan ketidak pahaman dan kekonyolan penalaran, dan tanpa ditunjang bukti saja. Argumen SD bhw dikotomi santri dan abangan akan muncul kembali gara2 ada peringatan Hari Santri, saya kira, sangat tdk bisa diterima nalar sehat. Sebab dikotomi tsb secara ilmiah, menurut kajian antropologi budaya misalnya, bukanlah sebuah pemilahan yg pada dasarnya konfliktual tetapi lebih merupakan deskripsi fenomenologis tentang pemahaman agama di dlm masyarakat Jawa. Yakni pemaknaan realitas yg bersumber dari nilai budaya ttg spiritualitas dlm konteks Jawa. Benar bahwa pemaknaan itu bisa mewarnai dan dimanipulasi oleh ideologi dan kekuatan politik yg nyata, namun ia tdk selalu harus tampil dlm bentuk konfrontatif.

Clifford Geertz (CG), antropolog kondang dari AS, pd th 60-an menggunakan pendekatan fenomenologis ketika beliau menjelaskan pluralitas pemahaman keagamaan di Jawa, khususnya di kalangan komunitas Muslim. Tiga kategori "santri, abangan, dan priyayi" tidak serta merta berbeda secara fundamental dan sangat tegas karena kategori2 tsb bisa saja terjadi pd mereka yg mengaku beragama Islam. Demikian pula jika konteks abad 21 saat ini digunakan, maka kemungkinan-2 pergeseran makna mengenai kesantrian di masyarakat Jawa sendiri terutama setelah terjadi transformasi sosial akibat modernisasi yg besar2an selama lima dasawarsa terakhir.

Bagi saya usulan "Hari Santri" masih tetap terbuka utk berbagai penafsiran dan tdk bisa hanya dimonopoli oleh sekelompok tertentu ummat Islam, misalnya kalangan ormas Islam terbesar di negeri ini, yakni NU. Kategori kaum santri dan karakter kesantrian jelas tdk hanya milik NU dan kaum pesantren saja. Ormas spt Muhammadiyah dan Persis dll juga termasuk disana, demikian pula jutaan ummat Islam yg berada di luar ormas2 tsb. Belumlagi jika ketegori semacam itu dikaitkan dengan pemahaman aliran teologis dlm Islam yg kini makin menambah pluralitas ummat.

Apalagi dg kategori abangan. Ini lebih spesifik lagi maknanya karena hanya dikenal di Jawa wlpn sesungguhnya fenomena "keabanganan" bisa dijumpai di mana saja bahkan di luar ummat Islam. Ia bukanlah pengelompokan sosial yg kongkrit apalagi memiliki kekuatan politik riil dan/atau diwakili parpol tertentu. Walhasil, omongan SD hanyalah semacam sensasi politik belaka yg ditujukan kpd Jokowi dan pendukungnya. Karena cuma sensasi mk kekhawatiran yg dikemukakannya jug tak berdasar.

Saya justru cenderung utk mempertanyakan pembuatan Hari Santri ini dari sisi substansi, yakni manfaatnya bagi bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam. Apkh sekadar semacam hiburan politik bg para pendukung pencapresan Jokowi-JK atau memang ada manfaat yg lebih jauh dr itu?. Sebab sudah banyak hari2 yg ditahbiskan sebagai momen yg perlu dirayakan di negeri ini baik yg wajib maupun tidak. Misalnya ada hari Proklamasi Kemerdekaan, Hari Pahlawan, dll yg dirayakan secara nasional dan memang sangat bermakna besar bg bangsa. Tapi ada juga Hari Bumi, Hari Kesehatan, Hari Batik dll yg tidak banyak diketahui publik selain yg merasa terkait langsung. Kalau ditambah dg Hari Santri, lalu apa sih arti dan manfaatnya? Saya mengaku sebagai seorang santri dan (alhamdulillah) juga dianggap santri oleh orang lain. Tapi saya tdk paham apkh ada sesuatu yg signifikan dan membedakan jika ada Hari Santri diperingati dan dirayakan, baik dlm tataran makna maupun manfaat kongkrit. Mungkinkah ini karena saya tidak ikut heboh menuntut perlunya label2 spt itu? Wallahua'lam.

Simak tautan ini:

http://m.rmol.co/news.php?id=162154
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS