Wednesday, October 22, 2014

MELEPASKAN INDONESIA DR STIGMA PELANGGARAN HAM

Masih ingat Allan Nairn (AN), jurnalis Amrik yg pernah menulis ttg Prabowo Subianto (PS) ketika beliau nyapres bbrp waktu lalu? Tulisan AN yg membuat banyak orang yg mendukung PS meradang dan publik Indonesia gerah antara lain terkait dg wawancara 'off the record' antara dirinya dg PS. Menurut AN, ia 'terpaksa' melanggar etika jurnalistik dg membuka isi wwcr itu utk publik dg alasan kepentingan publik Indonesia yg lebih besar. Isi wwcr yg heboh tsb antara lain ttg bgmn PS menghina alm Gus Dur, bgmn pandangan boss Gerindra tsb ttg masih perlunya kediktatoran di Indonesia, dan keterlibatan mantan Pangkostrad tsb dlm aksi2 militer yg melanggar HAM di Timor Leste, dll. (http://m.metrotvnews.com/read/2014/07/02/260282).

Kini AN menganggap perlu mengingatkan Presiden Jokowi agar beliau tidak mengangkat pembantu2nya yg mantan militer atau sipil yang dikategorikannya sebagai para pelanggar HAM. Nama2 seperti Hendropriyono (HP) dan As'ad Ali ( AA) pun muncul sebagai pihak2 tsb. Kasus2 Talangsari dan pembunuhan tokoh HAM, Munir, digunakan AN sbg alasan kenapa Presiden Jokowi harus mencoret nama keduanya. Apkh AN punya bukti2 yg sah secara hukum di Indonesia? Saya belum jelas. Tetapi apa yg dikemukakan AN jelas punya resonansi dan senafas dg apa yg sering dilontarkan sebagian pegiat HAM di negeri ini, khususnya LSM2 seperti Kontras, Imparsial, Setara Institute, dan bahkan lembaga resmi spt Komnas HAM serta kalangan intelektual.

Baik AN maupun pihak2 yg sepandangan dgnya tentu saja mempunyai hak utk bicara dan, khususnya mereka yg menjadi warga negara RI, menyampaikan aspirasi politiknya. Namun mereka juga harus memberi ruang kepada Presiden Jokowi utk mempertimbangkan nama2 tsb dan jika keputusan beliau tetap mempertahankan atau menunjuk mereka sebagai para pembantunya juga merpakan hak beliau. Mengapa? Sebab bisa jadi Presiden Jokowi menggunakan alasan bhw kedua orang tsb sampai saat ini secara fakta hukum belum pernah dijatuhi vonis sebagai pelanggar HAM dalam kasus2 yg dituduhkan. Secara politik barangkali akan muncul persepsi2 negatif di ruang publik, tetapi hal itu merupakan resiko yg mestijya sudah dikalkulasi dalam konteks dinamika politik Indonesia saat ini.

Tambahan pula, Presiden Jokowi juga telah berkomitmen utk menuntaskan kasus2 pelanggaran HAM yg tersisa sampai kini. Ini akan menjadi tes bagi pemerintahan beliau dan hrs dibuktikan dg membuka kasus2 spt Talangsari,  pembunuhan Munir, dll  yg jika perlu dg membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Jika memang pengadilan tsb fair dan terbuka, saya yakin semua pihak yg terkait dan rakyat Indonesia akan mendukungnya. Ketimbang isu2 HAM selalu menjadi komoditas politik dari sementara orang dan kelompok yg dipakai utk menekan pihak2 yg tdk disukai atau stigma politik thd figur2 tertentu, saya kira lebih baik dituntaskan secara terbuka, jujur, dan adil.

Bangsa Indonesia tidak boleh membiarkan kasus2 HAM berat tak tersentuh oleh hukum. Tetapi pd saat yg sama, bangsa ini juga jangan mau dikompori oleh sementara orang atau kelompok yg memakai isu2 HAM. Apalagi jika melupakan dimensi keamanan nasional dan harkat sebai bangsa dan negara berdaulat. Pelanggaran HAM berat tetap harus diusut dan dituntaskan, tetapi proses hukum pun mesti diikuti secara konsisten oleh siapapun. Bukan hanya mengikuti keinginan dan agenda2 sekelompok orang atau golongan tertentu saja.









Simak tautan ini:

http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/10/22/03371301/jurnalis.investigasi.allan.nairn.ingatkan.jokowi.jangan.pilih.menteri.pelanggar.ham
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS