Thursday, October 9, 2014

MEMAHAMI "KETIDAK-PAHAMAN" JOKOWI THD PEMIKIRAN HASHIM DJOJOHADIKUSUMO

Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) menyatakan tidak paham dengan pemikiran Hashim Djojohadikusumo (DH), Waketum DPP Gerindra dan adik Prabowo Subianto (PS), yg konon akan menggunakan kekuatan untuk menginvestigasi dan menghambat pemerintahan Jokowi. (http://hariansinggalang.co.id/hashim-bilang-ada-harga-yang…/). Presiden Jokowi bahkan bilang dirinya "... nggak ngerti pemikiran seperti apa kalau seperti itu. Ada jegal-menjegal, ini untuk rakyat dan negara. Ini bukan untuk kepentingan Jokowi..."

Benarkah Jokowi tidak paham dg statemen DH? Bisa jadi demikian. Namun ketidak pahaman beliau, dalam pemahaman saya, punya nuansa dan makna yg tidak sederhana. Ia adalah "sanepo" atau "pasemon" alias kritik halus. Bagi orang yg paham bahasa Jawa, kata "ora ngerti", jika diletakkan dalam konteks tertentu justru bisa bermakna sebaliknya: pihak yg tidak dimengerti itulah yg sebenarnya bermasalah. Dengan kata lain, menurut Jokowi, DH justru yg tidak paham dengan masalah ketatanegaraan karena pemikirannya yang kontradiktif dengan tujuan bernegara. Dalam pemikiran Jokowi, urusan bernegara harus melampaui urusan/kepentingan kelompok, partai, golongan, apalagi kepentingan pribadi-pribadi. Jika DH dan kubu KMP bermaksud memakai kekuatan yg dimilikinya utk menginvestigasi dan menghambat pemerintahan Jokowi, maka berarti tujuan keduanya berlawanan dengan tujuan dan etika bernegara. Kekuatan oposisi, dalam sistem demokrasi yg dianut oleh Konstitusi RI bukanlah itu, tetapi sebagai parter dan sekaligus pengawas pihak yang berkuasa agar kepentingan rakyat, bangsa dan negara dapat diselenggarakan dengan baik dan tepat.

Sementara itu dalam kerangka berfikir HD, politik dan kenegaraan tak terlepas dari kepentingan partai, koalisi partai, dan bahkan pribadi-pribadi. Maka jika HD bicara tentang "ada harga yang harus dibayar..", bisa dimaknai bhw Jokowi dan PDIP diminta bertanggungjawab terkait proses dan hasil pergulatan politik sebelum dan pasca-Pilpres yg bermuara pada konstelasi politik di Parlemen saat ini. Semua orang tahu, misalnya, pihak HD berkontribusi besar bagi keberhasilan Jokowi dan Ahok saat mereka menjadi cagub dan cawagub DKI. Bukan saja terkait dukungan politik partai Gerindra kepada PDIP, tetapi juga dukungan finansial bagi kedua calon tsb. Pencapresan Jokowi yang kemudian disusul dengan kekalahan PS dalam Pilpres 2014, tentu merupakan pukulan berat dan bahkan sikap 'penghianatan' yg dilakukan oleh Jokowi maupun PDIP. Jokowi dan PDIP dianggap tidak menepati janji: Pihak pertama tdk menyelesaikan tugas sebagai Gubernur selama 5 th, sedang pihak kedua malah mengajukan Jokowi sebagai capres yang menjadi pesaing (dan mengalahkan) PS. Implikasi dari proses demikian tentu tidak bisa diabaikan dalam politik dan kenegaraan di depan.
Pertarungan dua paradigma berfikir ini tampaknya akan ikut mewarnai wacana dan praksis perpolitikan Indonesia yang akan datang. Para penyelenggara negara dan rakyat Indonesia, sebagai pemangku kepentingan utama dalam kehidupan bernegara, sudah seyogyanya memahami implikasi pertarungan ini bagi perkembangan bangsa dan negara. Ini berarti pula bhw keterlibatan dan kepedulian mereka thd perkembangan politik akan sangat menentukan apakah Indonesia akan aman dan damai serta produktif, ataukah sebaliknya penuh dengan gonjang-ganjing dan berbagai kerawanan...

Simak tautan ini:

http://politik.rmol.co/read/2014/10/09/175189/Jokowi-Heran-dengan-Pemikiran-Adik-Prabowo-
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS