Monday, October 13, 2014

TANDA KEHORMATAN NEGARA, UNTUK SIAPA?

Presiden mempunyai hak konstitusional utk memberikan penghargaan atau tanda kehormatan, atas nama negara, kepada siapapun yang dipandang pantas. Ini merupakan salah satu hak prerogatif yg melekat padanya sebagai seorang Kepala Negara. Karenanya, pada hakekatnya tidak ada yang bisa melarang Presiden SBY utk memberikan tanda jasa atau kehormatan kepada siapapun, termasuk seorang Menteri yg membantu pekerjaannya.

Hanya, namanya saja tanda kehormatan, tentu memiliki implikasi kepada seseorang atau bahkan lembaga, baik si pemberi maupun si penerima. Itu sebabnya pasti ada berbagai syarat, tertulis maupun tidak bagi pihak yang menerima, termasuk kepantasan utk mendapatkan tanda penghormatan tsb. Kendati tidak bisa eksak tetapi asas kepantasan itu penting, sehingga hal yg sangat berharga tersebut tidak berpotensi kontraproduktif bagi kedua belah pihak. Umpamanya penghargaan dari seorang Presiden lantas dianggap oleh publik dan rakyat sebagai hal yg tidak terlalu penting hanya karena ada kesan penerimanya tidak layak jika dibanding dg prestasinya. Padahal, dalam kehidupan sebuah negara, tidak ada yang melebihi penghargaan yg diberikan oleh negara kepada putra-putri yang terbaik bangsa. Jika sebuah tanda kehormatan negara lantas menjadi sesuatu yang biasa, tentu hal ini juga akan menjatuhkan martabat bangsa dan negara itu sendiri.

Itulah sebabnya, ada sebuah keniscayaan untuk menggunakan standar atau ukuran tertentu kepada siapa penghargaan negara diberikan. Jangan sampai karena hak prerogatif yg digunakan sebagai alasan, lalu malah terjadi ironi: mereka yg pantas dan berjasa malah dilewatkan, tetapi yang sejatinya tidak layak malah dihadiahi. BK pernah mengatakan bahwa bangsa yg besar adalah bangsa yang bisa menghargai para pahlawannya. Kata "pahlawan", mungkin bisa diganti dengan "orang-2 yg berjasa kepada negara." Dan sama dengan seorang pahlawan, orang yg berjasa tentu bukan sembarangan. Idealnya, tentu pihak penerimapun perlu melakukan penilaian diri akan kepantasan tersebut. Masalahnya tidak semua orang yg mau secara serius melakukan penilaian terhadap diri sendiri apakah dirinya layak atau tidak. Yang umum adalah sikap yg dlam istilah Jawa disebut "rumongso biso, ning ora iso ngrumangsani."

Dalam kondisi bangsa yang sedang mengalami berbagai permasalahan dan krisis, terutama dalam kepemimpinan, sangatlah tidak elok jika tanda kehormatan terkesan diobral seperti door prize dg tujuan mendongkrak pencitraan sang pemberi. Seharusnya, justru ketika seseorang memiliki hak prerogatif memberikan tanda kehormatan, ia harus berhati-2 dalam memilah dan memilih. Sebab jika pilihannya sembarangan dan sejatinya tidak memenuhi standar kelayakan dan kepantasan, maka sang pemberi pun akan menuai kecaman dari publik. Hasilnya malah berlawanan: maunya mendapat pujian tapi justru berbalik menjadi ejekan dan bahkan sumpah serapah.


Simak tautan ini:

http://www.rmol.co/read/2014/10/13/175662/Roy-Suryo-Terima-Penghargaan-Presiden-SBY-
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS