Wednesday, November 5, 2014

BURUKNYA KOMUNIKASI PUBLIK IHWAL KENAIKAN BBM

Wacana penaikan harga BBM oleh Pemerintah Jokowi bukanlah sesuatu yg baru bergulir. Bahkan sejatinya ini adalah salah satu topik hangat saat Presiden SBY masih menjabat, dan banyak pihak yang menyatakan bahwa keengganan Pemerintah saat itu utk menaikkan BBM akan berdampak kepada Pemerintah baru. Pihak koalisi pendukung Jokowi-JK pd saat itu mendesak agar Pemerintah SBY menaikkan BBM sehingga Pemerintah baru akan lebih bisa berkonsentrasi menangani masalah dan program-2nya. Sayangnya, Pak SBY bergeming dg berbagai alasan, dan masalah pun kini seakan-akan menjadi warisan utk Presiden RI ke 7 tsb.

Terlepas dari pro kontra apakah penaikan harga BBM bersubsidi itu mesti dilakukan atau tidak, saya tertarik menganati sisi lain dari wacana ini. Yakni bagaimana keputusan diproses dan diambil oleh Pemerintah Jokowi dan bagaimana reaksi yg muncul baik dari dalam maupun dari luar lingkaran kekuasaan. Di dalam koalisi KIH sendiri jelas suara tidak satu: sejak awal beberapa pentolan PDIP seperti Effendi Simbolon (ES), Rieke Dyah Pitaloka (RDP), Aria Bima (AB), utk menyebut beberapa nama, menolak kebijakan tsb. Megawati, sebagai Ketum PDIP, justru mendukung sehingga Jokowi pun boleh berlega hati. Di pihak eksternal, koalisi KMP cenderung menolak kebijakan tsb, walaupun dg alasan yang berbeda-2. Dan publik, seperti biasa, cenderung terbelah menyikapi wacana ini. Di samping pro dan kontra, banyak juga yang berpendapat bhw masalahnya bukan naik atau tidak, tetapi apakah BBM tersedia atau tidak di pasaran!

Kini setelah Presiden Jokowi memegang kendali kekuasaan Pemerintahan, tampaknya keputusan penaikan harga masih belum selesai. Bahkan dlm PDIP sendiri, pihak yg menolak tetap bergeming dan ini tentu bisa menciptakan spekulasi politik yang merugikan koalisi KIH yg kini masih belum solid di Parlemen. Saya sejak awal dlm TL ini selalu menyarankan agar ditemukan kesepahaman dulu di dalam kubu PDIP, dan jangan sampai para elit bicara sendiri-2 di ruang publik, apalagi saling bertentangan.Tampaknya saran saya jatuh di telinga yg budek, dan perbedaan pendapat makin runcing. Yang menjadi sasaran perbedaan bukan lagi sekedar kebijakan tetapi siapa yg dianggap dibaliknya. Wapres Jusuf Kalla (JK) menjadi bulan-2an kritik dari politisi PDIP sebagai pihak yang paling memiliki kepentingan dg kebijakan penaikan BBM. Tambahan lagi, memang JK paling ngotot agar Pemerintah segera mengumumkan kenaikan harga BBM, seperti statemennya yg dikutip media: "pokoknya bulan (November, red.) ini!." Anehnya, Presiden Jokowi, yg jelas sepakat dg kebijakan kenaikan BBM, malah cenderung belum mau bicara ttg soal waktu pengumuman akan diberikan. (http://www.tempo.co/…/Misteri-Harga-BBM-JK-Pokoknya-Naik-Bu…).

Komunikasi politik yg buruk seperti yg ditunjukkan oleh KIH dan Istana ini jelas akan mempengaruhi secara negatif perspesi publik thd Pemerintah baru. Padahal situasi politik di parlemen pun belum kunjung stabil. Presiden Jokowi juga harus melakukan lawatan ke luar negeri sebagai Peminpin negara anggota ASEAN terbesar pada minggu-2 ini. Jika publik makin disuguhi pertikaian di dalam elit seperti ini, maka dukungan terhadap kebijakan Pemerintah pun tidak akan sekuat yang diharapkan. Pihak-2 yg menolak kebijakan Pemerintah, utamanya KMP, akan makin mendapat tambahan argumen yg memperkuat posisi mereka.

Simak tautan ini:

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/11/04/neigui-arya-bima-kenaikan-harga-bbm-itu-wacana-jk
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS