Tuesday, November 18, 2014

SETELAH HARGA BBM BERSUBSI DINAIKKAN, LALU BAGAIMANA?

Pro dan kontra kebijakan Pemerintah soal kenaikan harga BBM bersubsidi sudah pasti akan muncul dan berpotensi mengganggu ketertiban umum yang pada gilirannya berimbas pada stabilitas politik dan ekonomi. Sejauh penolakan tersebut masih terkendali, hal itu adalah wajar dalam sebuah masyarakat yang menganut sistem terbuka seperti Indonesia. Ibarat orang yang sakit diminta minum puyer, tentu ada rasa pahit. Masalahnya adalah, dalam dinamika politik tidak mungkin bisa diprediksi secara akurat 100% bahwa gejolak dalam masyarakat akan naik atau turun, apakah akan cepat atau lambat eskalasinya, dst. Jadi yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan aparatnya adalah menyikapi dinamika tersebut secara konstan dan menyiapkan strategi pengelolaan pencegahan terjadinya deskalasi yang bisa mengganggu ketertiban umum dan stabilitas politik.

Saya melihat argumen Pemerintah Jokowi cukup solid utk menempuh kebijakan yang tak populer seperti kenaikan BBM ini. Selain itu, strategi kompensasi dan/atau alokasi subisdi BBM sudah cukup jelas dan secara konseptual juga memadai. Kompensai yang langsung ditujukan kepada masyarakat yang kurang mampu adalah program-2 perlindungan sosial (social safety programs) berupa paket Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar (KKS,KIS, dan KIP). Sedangkan kompensasi yang lebih terkait pembangunan, subsidi diguakan utk membangun infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Anggaran ini, menurut argumen pemerintah, tidak tersedia karena dihamburkan untuk subsidi BBM. Model strategi kompensai langsung dan realokasi subsidi seperti ini digunakan diberbagai negara di Amerika Latin dan Afrika, sehingga sejatinya ini bukanlah strategi yang tanpa referensi atau mengawang-awang begitu saja.

Persoalannya, dan inilah yg sangat sulit di negeri ini, adalah bagaimana publik bisa mengetahui, memahami, dan menerima pelaksanaan strategi tsb secara riil. Sebab, pada masa Presiden SBY, strategi kompensasi melalui program Balsem (BLSM, BLT, dll) ternyata tidak terlaksana secara merata dan bahkan dituding hanya merupakan bagian dari sebuah kampanye politik utk mendukung penguasa jelang Pemilu. Demikian pula, pengalihan subsidi kepada infrastruktur pada masa SBY hampir bisa dikatakan tidak bisa dibuktikan secara merata di wilayah Indonesia, khususnya di luar Jawa, lebih-2 lagi di Indonesioa bagian Timur. Merosotya tingkat kepercayaan rakyat kepada SBY, Pemerintahnya, dan Partainya (PD), hemat saya, sebagian karena gagalnya pembuktian strategi ini di ranah publik.

Inilah tantangan terbesar dari Pemerintah Jokowi dalam mengantisipasi dinamika masyarakat pasca-kenaikan harga BBM. Selain menyosialisasikan dg baik alasan kebijakan pahit tsb harus diambil, Pemerintah juga mesti bisa membuktikan bahwa semua program tsb dilaksaakan secara konsisten dan nyata di lapangan dan bisa disaksikan oleh rakyat. Ini menyiratkan pentingnya manajemen pelaksanaan kebijakan dan pengawasan terus menerus, sebagaimana yang sering dikemukakan Pak Jokowi sendiri sebagai kunci keberhasilan beliau di Solo dan DKI. Dalam masyarakat Indonesia yg semakin terbuka, tidaklah terlalu sulit bagi publik utk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan dan hasil kebijakan Pemerintah mulai dari yg paling atas sampai bawah. Ini berarti bahwa aparat pemerintah juga harus memiliki kemampuan dan akutabilitas tinggi dlm bekerja. Jangan sampai kebijakan yg sangat strategis ini hanya berakhir dg kekecewaan rakyat karena yang lagi-2 hanya mendapatkan janji, bukan bukti.

Selamat bekerja Pak Jokowi!

Simak tautan ini :
http://nasional.kompas.com/read/2014/11/17/21235521/Ini.Kompensasi.Kenaikan.Harga.BBM.Menurut.Jokowi?utm_campaign=popread&utm_medium=bp&utm_source=news
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS