Tuesday, December 23, 2014

GERONTOKRASI DAN MACETNYA REFORMASI DI INDONESIA

Salah satu indikator untuk mengukur apakah sebuah sistem demokrasi berjalan secara berksinambungan adalah dengan melihat suksesi kepemimpinan dan kaderisasi di dalam batang tubuh organisasi politik dan pemerintahan. Semakin lancar dan damai proses suksesi, maka dapat dikatakan bahwa sistem demokrasi telah bekerja dan kesinambungannya terjaga. Demikian pula jika kaderisasi berproses dan berjalan dengan lancar maka jaminan terjadinya pergantian kepemimpinan termasuk kualitasnya pun ikut terjaga dan bahkan meningkat. Sebaliknya, jika suksesi cenderung tersedat dan penuh gejolak serta kekerasan, ditambah dengan kaderisasi yang terhambat, maka berarti ada masalah seirus dalam kepemimpinan. Sistem demokrasi pun cenderung mengalami hambatan dan bahkan distorsi antara apa yang dicita-2kan dengan yang dilaksanakan. Sistem demokrasi kemudian terancam menjadi semu atau seolah-olah belaka.

Jika kita amati perkembangan terakhir mengenai suksesi kepemimpinan dan kadersiasi dalam parpol di Indonesia pasca Reformasi, maka akan kita dapati fenomena yang ganjil. Parpol-parpol besar maupun kecil cenderung menunjukkan status quo dalam kepemimpinan mereka. Tengok saja kepemimpinan PDIP (Megawati), Golkar (ARB), Demokrat (SBY), PAN (Hatta Rajasa), Gerindra (Prabowo Subianto, serta Hanura (Wiranto). Para pinisepuh mereka yang telah cukup lama bercokol sebagai Ketum tampaknya belum mau melakukan suksesi kepada level berikut yang lebih yunior, kendati yg disebut terakhir ini telah lama dan punya pengalaman yang cukup. Dalam hal pengkaderan, makin banyaknya arus pendatang baru dalam parpol dan langsung menduduki posisi strategis tanpa memperhitungkan pengalaman ditempa organisasi, juga menunjukkan ringkihnya kader-kader parpol yang mumpuni.

Fenomena ini bisa mengarah pada munculnya proses gerontokrasi alias kekuasaan ditangan para orang-orang tua di negeri ini. Sementara trend demografi di negeri ini menunjukkan makin meningkatnya jumlah kelompok muda dan demikian pula semakin pentingnya regenerasi dalam posisi strategis. Munculnya pemimpin muda seperti Presiden Jokowi dan Gub Ahok, Walikota Bima Arya, dll mungkiin masih memberikan harapan bahwa gerontokrasi bisa dicegah. Namun jika melihat apa yang terjadi dalam kepemimpinan parpol-parpol yang berkuasa saat ini, sewajarnya kita mulai prihatin. Usia memang bukan segalanya dan dalam politik, soal usia tidak bisa dijadikan sebagai ukuran mutlak dalam hal kapabilitas serta pengalaman. Hanya saja kita sebagai bangsa yang sedang berpacu dengan bangsa-bangsa lain tentunya memerlukan energi yang lebih besar dan keberanian utk mencari alternatif dalam dunia yang kina cepat berubah ini. Dan soal energi serta keberanian berfikir out of the box umumnya lebih banyak dimiliki oleh generasi yg lebih muda.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS