Reaksi Presiden Jokowi (PJ) terhadap skandal penangkapan Waka KPK,
Bambang Wijoyanto (BW), oleh oknum-2 Polri, memang sangat singkat,
normatif, dan mencoba untuk fair kepada kedua institusi penegak hukum
tsb. Beliau saat itu mungkin hanya punya sangat sedikit waktu utk
merenung dan mencerna permasalahan yg sangat mendadak, tetapi mempunyai
ramifikasi politik dan sosial serta keamanan pada tataran nasional.
Dalam kondisi dan situasi demikian, saya melihat reaksi dan respons
singkat tsb wajar, karea beliau hanya memberi sinyal kepada rakyat
Indonesia bahwa beliau peduli dan tidak reaktif.
Kendati demikian, PJ tidak bisa juga bergeming dengan "normativisme" tsb, mengingat skandal tersebut nyaris sulit dianggap sebagai peristiwa hukum biasa. Peristiwa penangkapan BW adalah sebuah manifestasi sebuah "politik balas dendam" dan "balas dendam politik," terkait dengan kasus cakapolri yg melibatkan petinggi Polri, khususnya Komjen Budi Gunawan, Istana, PDIP, KIH, KMP, dan tentu saja KPK. Jika hanya dilihat dari segi legal formal biasa, penangkapan tersebut minimal janggal tetapi maksimal merupaka sebuah pelanggaran hukum yang vulgar. Setidaknya pakar hukum dan mantan Ketua MK, Prof. Mahfud MD, misalnya menyatakan bahwa BW bersih secara hukum jika dikaitkan dengan kasus Pilkada Kotawaringin Barat (Kobar) pda 2010. Dengan demikian, dalih bahwa Polri melakukan penangkapan itu karena laporan masyarakat sama sekali tidak nalar dan tidak seimbang dg apa yang dialamai BW yg dikepung, dipaksa dan ditahan oleh oknum-2 Polri pada pagi hari tadi. Hukum Acara Pidana terang-terangan dilanggar oleh oknum-2 Polri tsb, dan belum lagi mengungat bhw BW adalah seorang pejabat negara yg memiliki posisi strategis di KPK.
Orang tak usah menjadi "ahli roket" utk tahu bhw skandal ini adalah ekspressi kemarahan dari sementara oknum petinggi di Polri yang lalu mengintimidasi KPK melalui apa yg disebut dg kasus sumpah palsu pd Pilkada Kobar pada 2010. Kasus intimdasi seperti ini sudah pernah terjadi dua kali sebelumnya, yang terkenal dg "Cicak vs Buaya ke 1 dan ke 2", sehingga inilah Civak vs Buaya ke 3" (yg jika tidak dihentikan akan menjadi serial entah sampai berapa kali di masa depan!). Polri masih ditongkrongi oleh oknum-2 elite yg belum tereformasi dan berlepotan dengan lumpur korupsi, sehingga setiap upaya yg akan membersihkan lumpur tersebut pasti akan direaksi dengan keras dan tanpa mengindahkan etika serta aturan hukum. Alih-alih mengingat bahwa Indonesia saat ini berada di era reformasi dan demokrasi yg berlandaskan prinsip "rules of law."
Karena itu PJ harus bertindak tegas dan tidak netral dalam soal ini. Dalam arti beliau mesti memihak kepada KPK dan mengupayakan agar BW dibebaskan secepat mungkin. Sikap fair dan netral sama sekali tidak relevan utk menyikapi skandal ini, karena pihak yang menagkap dan menahan BW tidak memiliki landasan legal dan moral yg kuat, tetapi sekadar kekuasaan brutal yg dipaksakan (buat apa mengerahkan 30 orang Polisi yg bersenjata utk menangkap seorang BW?) Pameran kekuatan brutal seperti ini jelas telak berlawanan dengan etos kerja Polri "melindungi dan melayani". Terkecuali kalau Densus 88 menyergap kawanan teroris bersenjata dan sangat berbahaya bagi keamanan publik dan negara!
Saya kira sikap "tidak netral" PJ dalam menghadapi skandal ini justru adlah sikap yg bisa dipertanggungjawabkan secara etis, politis, dan legal. Mungkin sebagian parpol dan elityg juga punya kegeraman thd KPK akan melarang PJ memihak KPK dg alasan tidak mencampuri urusan lembaga hukum. Tetapi buat saya, alasan tsb sudah batal dengan sendirinya, karena landasan hukum dan moral dari oknum-2 Polri itu sangat diragukan atau bahkan tak ada. Dan yg lebih penting lagi rakyat menunggu PJ bersikap tegas dalam memberantas korupsi. Sikap menunda dg alasan fair dan netral dalam menghadapi skandal yg memalukan bangsa dan negara ini harus ditinggalkan.
Kendati demikian, PJ tidak bisa juga bergeming dengan "normativisme" tsb, mengingat skandal tersebut nyaris sulit dianggap sebagai peristiwa hukum biasa. Peristiwa penangkapan BW adalah sebuah manifestasi sebuah "politik balas dendam" dan "balas dendam politik," terkait dengan kasus cakapolri yg melibatkan petinggi Polri, khususnya Komjen Budi Gunawan, Istana, PDIP, KIH, KMP, dan tentu saja KPK. Jika hanya dilihat dari segi legal formal biasa, penangkapan tersebut minimal janggal tetapi maksimal merupaka sebuah pelanggaran hukum yang vulgar. Setidaknya pakar hukum dan mantan Ketua MK, Prof. Mahfud MD, misalnya menyatakan bahwa BW bersih secara hukum jika dikaitkan dengan kasus Pilkada Kotawaringin Barat (Kobar) pda 2010. Dengan demikian, dalih bahwa Polri melakukan penangkapan itu karena laporan masyarakat sama sekali tidak nalar dan tidak seimbang dg apa yang dialamai BW yg dikepung, dipaksa dan ditahan oleh oknum-2 Polri pada pagi hari tadi. Hukum Acara Pidana terang-terangan dilanggar oleh oknum-2 Polri tsb, dan belum lagi mengungat bhw BW adalah seorang pejabat negara yg memiliki posisi strategis di KPK.
Orang tak usah menjadi "ahli roket" utk tahu bhw skandal ini adalah ekspressi kemarahan dari sementara oknum petinggi di Polri yang lalu mengintimidasi KPK melalui apa yg disebut dg kasus sumpah palsu pd Pilkada Kobar pada 2010. Kasus intimdasi seperti ini sudah pernah terjadi dua kali sebelumnya, yang terkenal dg "Cicak vs Buaya ke 1 dan ke 2", sehingga inilah Civak vs Buaya ke 3" (yg jika tidak dihentikan akan menjadi serial entah sampai berapa kali di masa depan!). Polri masih ditongkrongi oleh oknum-2 elite yg belum tereformasi dan berlepotan dengan lumpur korupsi, sehingga setiap upaya yg akan membersihkan lumpur tersebut pasti akan direaksi dengan keras dan tanpa mengindahkan etika serta aturan hukum. Alih-alih mengingat bahwa Indonesia saat ini berada di era reformasi dan demokrasi yg berlandaskan prinsip "rules of law."
Karena itu PJ harus bertindak tegas dan tidak netral dalam soal ini. Dalam arti beliau mesti memihak kepada KPK dan mengupayakan agar BW dibebaskan secepat mungkin. Sikap fair dan netral sama sekali tidak relevan utk menyikapi skandal ini, karena pihak yang menagkap dan menahan BW tidak memiliki landasan legal dan moral yg kuat, tetapi sekadar kekuasaan brutal yg dipaksakan (buat apa mengerahkan 30 orang Polisi yg bersenjata utk menangkap seorang BW?) Pameran kekuatan brutal seperti ini jelas telak berlawanan dengan etos kerja Polri "melindungi dan melayani". Terkecuali kalau Densus 88 menyergap kawanan teroris bersenjata dan sangat berbahaya bagi keamanan publik dan negara!
Saya kira sikap "tidak netral" PJ dalam menghadapi skandal ini justru adlah sikap yg bisa dipertanggungjawabkan secara etis, politis, dan legal. Mungkin sebagian parpol dan elityg juga punya kegeraman thd KPK akan melarang PJ memihak KPK dg alasan tidak mencampuri urusan lembaga hukum. Tetapi buat saya, alasan tsb sudah batal dengan sendirinya, karena landasan hukum dan moral dari oknum-2 Polri itu sangat diragukan atau bahkan tak ada. Dan yg lebih penting lagi rakyat menunggu PJ bersikap tegas dalam memberantas korupsi. Sikap menunda dg alasan fair dan netral dalam menghadapi skandal yg memalukan bangsa dan negara ini harus ditinggalkan.
0 comments:
Post a Comment