Thursday, March 19, 2015

MENGAPA JK PRO PEMBERIAN REMISI KPD KORUPTOR?

Presiden Jokowi (PJ) dengan tegas menolak gagasan remisi terhadap koruptor yg dihukum penjara. Lain halnya dengan Wapres JK yg sebaliknya, menyetujui gagasan tersebut. JK menyokong alasan legal formalisme yg pernah dikemukakan oleh Menkumham, Yasonna Laolly (YL). Yaitu bwh para koruptor sudah menjalani hukuman yg sama dengan napi kain sehingga mereka juga diperlakukan sama, termasuk hak mendapat remisi sesuai aturan yg berlaku bagi yg lain.

Kendati saya sudah pernah membahas argumentasi legal formalisme tsb dan menolaknya, tetapi saya anggap perlu utk mengulanginya. Sebab yg bicara adalah orang nomor 2 di negeri ini yg idealnya juga memiliki komitmen yg sama dg PJ dalam pemberantasan korupsi. Perbedaan pandangan kedua pemimpin tsb, hemat saya, bukan hanya sekadar pendekatan saja, tetapi mewakiki dua paradigma yg berbeda sehingga akan mempunyai dampak yg signifikan thd pembuatan kebijakan publik yg berlingkup nasional terkait masalah strategis seperti penanggulangan dan pemberantasan korupsi itu. JK tampaknya memakai landasan pragmatis dan legal positivisme dlm menyikapi hukuman thd koruptor. Dengan demikian, pelaksanaan hukuman bagi beliau tidak ada kaitannya dengan apa yang disebut dengan rasa keadilan dan moralitas publik, demikian juga keterkaitannya dg kondisi riil yang ada dlm masyarakat.

Padahal, rasa keadilan masyarakat Indonesia sangat terusik dg ringannya hukuman yg selama ini dijatuhkan kpd para koruptor kakap jika dibanding dg kejahatan2 biasa. Tuntutan publik yg menginginkan agar penerapan hukuman mati thd para koruptor dilaksanakan merupakan indikator ketidak puasan dan ketidak percayaan publik thd penerapan hukuman yg kini berlaku bg koruptor. Demikian pula angka statistik yg menunjukkan bhw rata2 para koruptor di negeri ini hanya mendapatkan hukuman rata2 dua tahun penjara . Ini merupakan indikasi masih terabaikannya rasa keadilan tsb. Tak heran jika adagium "pisau hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas" menjadi sangat populer di dlm wacana hukum di ruang publik.

Oleh sebab itu paradigma legal positivisme menjadi anakronistik dlm kondisi seperti ini. Ia menjadi dalih dan kamuflase bg kelompok kepentingan dan kekuasaan melalui tafsir dan penerapan norma hukum yg berlaku. Sepintas lalu, statemen JK dan YL punya landasan logika yg kuat. Namun jika diperhadapkan dengan realitas dan prinsip keadilan maka sangat perlu utk dipertanyakan motif di baliknya.

JK dan YL serta para pendukung legal formalisme baik sengaja atau tidak telah menafikan aspek keadilan yg subatamtif dan hidup dalam masyarakat. Pertimbangan yg digunakan masih instrumetalistik sehingga cenderung bias pd kekuasaan. Dan jika paradigma seperti ini dominan dalam dunia peradilan di negeri ini, maka akan semakin terabaikan pula aspirasi dari mereka yang terpinggirkan dan tak punya akses kpd kekuasaan.

Simak tautan ini:

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150318225748-12-40169/soal-remisi-koruptor-jk-bela-menteri-laoly/
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS