Sudah bukan rahasia lagi bahwa
pengelolaan minyak dan gas di negeri ini telah sangat lama
terkontaminasi dan, bahkan, dikontrol oleh kekuatan-kekuatan di luar
negara yang sering dikategorikan sebagai Mafia Migas. Semenjak Migas
menjadi primadona Indonesia pada era boom minyak pada tahun 70-an, dan
didorong serta dipacu oleh proses pembangunan ekonomi rezim Orba, sampai
pasca-roformasi saat ini, pengaruh kekuasaan Mafia Migas hampir tak
pernah bisa dikurangi. Bisa saja ada berbagai aturan, kebijakan, dan
perubahan pada tataran kelembagaan, tetapi pada hakekatnya para pelaku
bisnis migas dan Mafia yang mengontrolnya tetap bergeming. Skandal demi
skandal, dimulai dari korupsi Pertamina zaman Ibnu Sutowo alm sampai
skandal SKK Migas masa Pemerintahan Presiden SBY, entah sudah berapa
ratus atau ribu triliun uang negara yang dilalap oleh para Mafia tsb.
Bukan berarti rakyat Indonesia dan para pemangku kepentingan Migas lantas diam saja menyaksikan harta kekayaan ibu pertiwi ini dirampok habis-2an oleh para Mafia bersama para komprador di dalam rezim Pemerintahan. Namun, suka atau tidak, mesti diakui bahwa upaya membereskan pengelolaan Migas di Republik ini masih tetap berjalan di tempat dalam rangka menyelamatkan kekayaan alam agar dapat dimanfaatkan sebesar-2nya demi kepentingan rakyat dan negara, sebagaimana amanat Konstitusi. Yang terjadi selama ini adalah perbaikan tambal-sulam tanpa benar-benar menyelesaikan akar permasalahan tatakelola migas. Dimulai dari pokok yang paling hulu, yakni peraturan perundangan, sampai paling hilir yakni distribusi Migas serta pemanfaatannya bagi kesejahteraan rakyat seperti sediaan energi listrik nasional.
Tak heran apabila upaya yang terakhir dilakukan pasca terbongkarnya skandal korupsi SKK Migas, kini kita lagi-lagi mengalami deja vu. Pembenahan sistem pengelolaan Migas di Pertamina, yang di antaranya adalah masal;ah keberadaan Petral, salah satu anak perusahaan milik BUMN Migas tsb, terancam kandas. Bukan itu saja, tetapi ternyata telah mulai terecium bau busuk bahwa pembubaran Petral dan pembentukan lembaga lain yg menggantikannya, hanya ibarat 'keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya' belaka. Politik dan bisnis Migas, memang dua hal yang sangat erat kaitannya, karena prinsipnya politik tanpa dukungan duit tak akan berati apa-apa. Bisnis Migas adalah ATM bagi para elit politik, sehingga kehendak melakukan kontrol publik yang ketat thd pengelolaan Migas bisa dianggap vonis mati bagi elit politik. Karenanya semua upaya tsb harus dihalangi dan diupayakan hanya sampai pada tahan wacana publik belaka. Soal implementasi di lapangan, tetap akan mengikuti apa yan selama ini sudah berjalan. Hanya nama saja yang berganti, tetapi bisnis harus berjalan sebagaimana yang diinginkan para boss Mafia Migas tsb.
Walhasil, yang kita saksikan sepanjang sejarah pengelolaan Migas di Indonesia, sejak Orba sampai entah sampai kapan, adalah politik "mimikri" para Mafia Migas yang bekolaborasi dengan elit politik dan korporasi terkait migas.
Simak tautan ini:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/04/27/060100026/Ada.Siapa.di.Balik.Pembubaran.Petral.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp
Bukan berarti rakyat Indonesia dan para pemangku kepentingan Migas lantas diam saja menyaksikan harta kekayaan ibu pertiwi ini dirampok habis-2an oleh para Mafia bersama para komprador di dalam rezim Pemerintahan. Namun, suka atau tidak, mesti diakui bahwa upaya membereskan pengelolaan Migas di Republik ini masih tetap berjalan di tempat dalam rangka menyelamatkan kekayaan alam agar dapat dimanfaatkan sebesar-2nya demi kepentingan rakyat dan negara, sebagaimana amanat Konstitusi. Yang terjadi selama ini adalah perbaikan tambal-sulam tanpa benar-benar menyelesaikan akar permasalahan tatakelola migas. Dimulai dari pokok yang paling hulu, yakni peraturan perundangan, sampai paling hilir yakni distribusi Migas serta pemanfaatannya bagi kesejahteraan rakyat seperti sediaan energi listrik nasional.
Tak heran apabila upaya yang terakhir dilakukan pasca terbongkarnya skandal korupsi SKK Migas, kini kita lagi-lagi mengalami deja vu. Pembenahan sistem pengelolaan Migas di Pertamina, yang di antaranya adalah masal;ah keberadaan Petral, salah satu anak perusahaan milik BUMN Migas tsb, terancam kandas. Bukan itu saja, tetapi ternyata telah mulai terecium bau busuk bahwa pembubaran Petral dan pembentukan lembaga lain yg menggantikannya, hanya ibarat 'keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya' belaka. Politik dan bisnis Migas, memang dua hal yang sangat erat kaitannya, karena prinsipnya politik tanpa dukungan duit tak akan berati apa-apa. Bisnis Migas adalah ATM bagi para elit politik, sehingga kehendak melakukan kontrol publik yang ketat thd pengelolaan Migas bisa dianggap vonis mati bagi elit politik. Karenanya semua upaya tsb harus dihalangi dan diupayakan hanya sampai pada tahan wacana publik belaka. Soal implementasi di lapangan, tetap akan mengikuti apa yan selama ini sudah berjalan. Hanya nama saja yang berganti, tetapi bisnis harus berjalan sebagaimana yang diinginkan para boss Mafia Migas tsb.
Walhasil, yang kita saksikan sepanjang sejarah pengelolaan Migas di Indonesia, sejak Orba sampai entah sampai kapan, adalah politik "mimikri" para Mafia Migas yang bekolaborasi dengan elit politik dan korporasi terkait migas.
Simak tautan ini:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/04/27/060100026/Ada.Siapa.di.Balik.Pembubaran.Petral.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp
0 comments:
Post a Comment