Wednesday, April 8, 2015

PUTUSAN PRAPERADILAN THD KASUS SURYA DHARMA ALI DAN ANARKI HUKUM

Bukan putusan Hakim itu benar yg membuat saya terpana, tetapi argumennya itu. Hakim PM Jakarta Selatan, Tatik Hadiyanti (TH), menolak total pengajuan praperadilan mantan Menteri Agama, Surya Dharma Ali (SDA). Seperti diketahui, SDA ingin menggunakan preseden praperadilan tersangka tipikor Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai "casus belli", dimana praperadilan thd KPK menang dan kini BG tidak lagi menjadi tersangka. Namun, Hakim yg menangani bukanlah Hakim Sarpin Rizaldi (SR), tetapi Hakim TH. Hasilnya mengecewakan bg SDA: KPK menang.

Rupanya dlm sistem hukum di Indonesia, seorang Hakim bisa membuat putusan beda dlm pokok perkara yg jenis dan sifatnya sama. Dan ini menurut Mahkamah Agung (MA) boleh2 saja. Bagi saya yg bukan pakar hukum, ini adlh ANARKI HUKUM dan sangat berbahaya bagi tatanan hukum dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Seperti status2 saya sebelumnya, saya tdk tertarik mengomentari produk putusan Hakim2 tsb, karena hal tsb bukan kompetensi atau hak saya. Tetapi sebagai warganegara yg peduli (concerned citizen) saya merasa punya hak penuh mengomentari dan mengritik kekacauan hukum ini. Sebab jika anarki dibiarkan di bidang hukum, maka anarki sosial dan politik tidak akan bisa dielakkan juga.

Hakim TH dg tegas menyatakan bhw beliau tidak mempertimbangkan putusan Hakim SR. Padahal kasus yg diajukan SDA 100% sama dg BG yakni status tersangka yg dikenakan pd mereka oleh KPK. Yg lebih mengejutkan lagi, argumen yg digunakan TH juga telak2 bertentangan dg argumen Hakim SR,  yaitu  bhw penetapan tersangka yg dijadikan dalil oleh pemohon bukanlah wewenang Pengadilan. Padahal RS dalam kasus Praperadilan BG telak2 menganggap itu wewenang Pengadilan dan bahkan kemudian ia menganggap bhw penetapan status tersangka olh KPK dinyatakan tidak sah!

Putusan Hakim TH mirip dg putusan Hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto bbrp waktu sebelumnya yg juga menolak mentah2 argumen Hakim SR. Tetapi MA tetap bergeming dg mengatakan bhw hal itu adalah diskresi Hakim Pengadilan Negeri. Dalam pandangan saya, itu bukan diskresi tetapi kekacauan nalar yg dipakai MA. Saya cenderung mengatakan bhw MA sebagai lembaga peradilan tertinggi di negeri ini telah terhanyut dlm permainan dan kepentingan politik sehingga mengabaikan salah satu prinsip utama yg harus dipegang yaitu adanya kepastian hukum.

Semakin jelas bahwa negeri ini memerlukan overhaul alias perubahan mendasar thd MA karena kegagalannya menjadi pilar utama dlm penyelenggaraan ketatanegaraan dan sistem demokrasi yakni melindungi keadilan dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh warganegara Indonesia. MA seperti adanya saat ini sudah sama dengan tidak adanya, atau dlm istilah pesantrennya "wujuduhu ka 'adamihi." Quo vadis hukum di Republik Indonesia?

Simak tautan ini:

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150408112115-12-45005/hakim-tolak-gugatan-praperadilan-suryadharma-ali-melawan-kpk/
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS