Sangatlah menyedihkan jika kabar yg saya
tautkan di bawah ini benar2 terjadi. Munculnya tudingan rekayasa thd
Munas NU menurut hemat saya sangat memalukan dan menurunkan kredibilitas
PBNU di bawah kepemimpinan KH Said Aqil Suraj (SAS). Rasanya, selama
saya menjadi bagian dr kaum nahdliyyin, yg berarti seumur hidup saya,
tak pernah ada pemberitaan seperti ini. Kalau berita ini cuma sekali dua
muncul dg sumber yg sama, kita mungkin masih bisa mengabaikan. Tetapi
kalau nyaris tiap hari muncul keluhan thd penyelenggaraan Munas oleh
oknum2 PBNU, tentunya harus diklarifikasi. Sebab forum Munas adalah
forumnya para Ulama NU yg notabene meruoakan para penjaga dan pemilik
nama organisasi ormas Islam terbesar di dunia tsb. Keputusan2 Munas
biasanya akan menjadi rujukan utama bg kiprah organisasi khususnya
terkait dg mslh2 strategis baik keagamaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
organisasi.
Kali ini, mendekati penyelenggaraan Muktamar NU, salah satu masalah strategis bg organisasi adlh ttg sistem pemilihan pimpinan yg akan digunakan. Santer dikabarkan bahwa siztem pemilihan langsung yg selama ini diterapkan akan diubah menjadi sistem "Ahlul Halli wal 'Aqdi" (Ahwa). Sustem yg konon mencontoh model pemilihan Khulafaur Rasyidin (masa Umar ibn Khattab) itu dianggap akan menghindarkan NU dari perselisihan ttg siapa yg layak menjadi Rais 'Am yg notabene adlh pemimpin Lembaga Syuriah NU dlm PBNU. Pemilihan langsung yg biasa dipakai kini dianggap tdk layak lagi.
Masalah kini muncul ketika keputusan yg dibuat di Munas menuai kritik dr sebagian Ulama dan kelompok2 muda NU sendiri. Bukan karena substansi Ahwa itu sendiri tetapi karena cara keputusan dibuat dianggap sarat dg rekayasa oleh penyelenggara Munas, yaitu PBNU sendiri! Hal inilah yg hemat saya sangat aneh dan bahkan memalukan. Sebab jika memang Ahwa sydah dianggap sbg alternatif, tentunya tak perlu ada rekayasa segala. Apalagi kemudian menimbulkan protes2 dari para Kyai yg sudah pasti bukan para politisi. Itu sebabnya perlu diklarifikasi dg tuntas apkh keluhan dan protes2 tsb berdasar atau bukan.
Sistem Ahwa atau apa pun yg digunakan NU pd akhirnya harus mampu membuktikan bhw pimpinan yg akan dihasilkannya nanti benar2 punya kapasitas mengemban amanah organisasi yg membawa nama ulama tsb. NU bukanlah parpol dan tidak terlibat dlm kiprah politik praktis. Politik NU adlh "politik Negara" bukan politik partisan. Komitmen NU adlh peningkatan kualitas ummat termasuk kualitas keislaman, kebangsaan, pendidikan, kesejahteraan, dsb.
Jika proses menetapkan kepemimpinan NU telah diwarnai rekayasa dan politisasi mk kualitas pemimpinnya pun tak akan jauh2 dari situ. Implikasinya, NU yg dianggap sebagai salah satu kekuatan penting dalam masy sipil di negeri ini akan mengalami kemunduran secara kualitatif. NU bisa saja tetap besar secara kuantitatif, namun pengaruhnya dlm memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara akan kian kian menurun. Sebelum itu terjadi lebih baik PBNU mencegah politisasi dan segala bentuk rekayasa sebagaimana dikeluhkan oleh sementara ulamanya.
Simak tautan ini:
http://www.rmol.co/read/2015/06/22/207209/Para-Kiai-Merasa-Dikerjai-PBNU-
Kali ini, mendekati penyelenggaraan Muktamar NU, salah satu masalah strategis bg organisasi adlh ttg sistem pemilihan pimpinan yg akan digunakan. Santer dikabarkan bahwa siztem pemilihan langsung yg selama ini diterapkan akan diubah menjadi sistem "Ahlul Halli wal 'Aqdi" (Ahwa). Sustem yg konon mencontoh model pemilihan Khulafaur Rasyidin (masa Umar ibn Khattab) itu dianggap akan menghindarkan NU dari perselisihan ttg siapa yg layak menjadi Rais 'Am yg notabene adlh pemimpin Lembaga Syuriah NU dlm PBNU. Pemilihan langsung yg biasa dipakai kini dianggap tdk layak lagi.
Masalah kini muncul ketika keputusan yg dibuat di Munas menuai kritik dr sebagian Ulama dan kelompok2 muda NU sendiri. Bukan karena substansi Ahwa itu sendiri tetapi karena cara keputusan dibuat dianggap sarat dg rekayasa oleh penyelenggara Munas, yaitu PBNU sendiri! Hal inilah yg hemat saya sangat aneh dan bahkan memalukan. Sebab jika memang Ahwa sydah dianggap sbg alternatif, tentunya tak perlu ada rekayasa segala. Apalagi kemudian menimbulkan protes2 dari para Kyai yg sudah pasti bukan para politisi. Itu sebabnya perlu diklarifikasi dg tuntas apkh keluhan dan protes2 tsb berdasar atau bukan.
Sistem Ahwa atau apa pun yg digunakan NU pd akhirnya harus mampu membuktikan bhw pimpinan yg akan dihasilkannya nanti benar2 punya kapasitas mengemban amanah organisasi yg membawa nama ulama tsb. NU bukanlah parpol dan tidak terlibat dlm kiprah politik praktis. Politik NU adlh "politik Negara" bukan politik partisan. Komitmen NU adlh peningkatan kualitas ummat termasuk kualitas keislaman, kebangsaan, pendidikan, kesejahteraan, dsb.
Jika proses menetapkan kepemimpinan NU telah diwarnai rekayasa dan politisasi mk kualitas pemimpinnya pun tak akan jauh2 dari situ. Implikasinya, NU yg dianggap sebagai salah satu kekuatan penting dalam masy sipil di negeri ini akan mengalami kemunduran secara kualitatif. NU bisa saja tetap besar secara kuantitatif, namun pengaruhnya dlm memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara akan kian kian menurun. Sebelum itu terjadi lebih baik PBNU mencegah politisasi dan segala bentuk rekayasa sebagaimana dikeluhkan oleh sementara ulamanya.
Simak tautan ini:
http://www.rmol.co/read/2015/06/22/207209/Para-Kiai-Merasa-Dikerjai-PBNU-
0 comments:
Post a Comment