Saturday, July 18, 2015

MENYIKAPI INSIDEN SHOLAT IDUL FITRI DI TOLIKARA

Sikap Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pendeta Dorman Wandikmbo (DW), yang secara terbuka meminta maaf kepada ummat Islam di Tolikara, seharusnya bisa digunakan sebagai salah satu alat yang efektif bagi pemulihan ketegangan akibat insiden shalat Ied di lapangan Tolikara kemarin (17/07/15). Penjelasan DW seputar surat yang dikeluarkan oleh Ketua Klasis dan Ketua Wilayah GIDI Tolikara yg melarang dilakukannya salat Id di lapangan terbuka, juga perlu dicermati tanpa harus disikapi dengan emosi berlebihan. Sebab alasan yang digunakan, yakni karena shalat Ied di lapangan tsb bersamaan waktunya dengan digelarnya ibadah/seminar internasional GIDI di Kabupaten Tolikara juga bisa dipahami dan cukup masuk akal. Shalat Ied memang tidak harus di lapangan, apalagi jika di Masjid yang ada memang diperkirakan bisa menampung jumlah jemaah yang akan hadir. Dan kalaupun memang tetap harus di lapangan, mungkin saja bisa dilakukan negosiasi sebelumnya oleh kedua pihak mengenai waktunya agar tidak dianggap mengganggu ibadah. Saya tidak tahu apakah negosiasi yang melibatkan Pemda dan atau aparat keamanan sudah diupayakan atau belum sehingga insiden tsb terjadi.

Munculnya insiden yang membawa korban luka-2 tembak dan terbakarnya properti (toko-toko, rumah) dan Masjid semestinya menjadi suatu pelajaran berharga bagi para tokoh masyarakat dan juga aparat keamanan di daerah tsb: 1) bahwa kekerasan dan konflik sosial bisa terjadi karena pemicu yang seringkali tampak remeh dan bahkan tak diperhitungkan; 2) Pentingnya komunikasi lintas ummat beragama utk menghindari potensi konflik atau dimanfaatkan utk menciptakan konflik; 3) Kasus Tolikara ini juga menjadi peringatan bahwa potensi kekerasan di Tolikara khususnya dan Papua pada umumnya kini bisa muncul dalam bentuk benturan yang menggunakan agama. Jika selama ini masalah yang terkait dengan agama relatif tidak menjadi pemicu kekerasan terbuka, maka dari insiden shalat Ied ini tampaknya ada modus baru utk menjadi penyulut (trigger) nya yakni menggunakan agama. Terlepas dari siapa dalang dalam kasus ini dan apakah tujuannya terbatas lingkupnya di tingkat lokal atau sampai ke tingkat nasional, tetapi kini agama pun sudah dimanipulasi dan direkayasa.

Oleh sebab itu semestinya Pemerintah harus bertindak cepat dan menyeluruh dalam menyikapi munculnya modus konflik yg menggunakan agama di Papua, dan dengan demikian peran dan keterlibatan para agamawan serta ormas-2 keagamaan di wilayah tersebut sangat penting. Tentu saja selain mereka, pihak Pemda dan aparat keamanan khususnya Polri menjadi sektor terdepan (leading sector) dalam mencari solusi, baik yang terkait dengan penegakan hukum maupun resolusi konflik. Sikap Pengurus GIDI di atas mestinya diapresiasi dan dijadikan pegangan oleh Pemerintah dalam rangka membatasi ekses dari insiden tsb agar jangan sampai meluber dan menjadi pembenaran bagi sikap-2 intoleran dan upaya-2 kekerasan di wilayah lain. Sebab bukan tidak mungkin bahwa insiden Tolikara ini lantas akan digunakan para pendukung kekerasan di wilayah lain utk alasan menciptakan keresahan dan tindakan-2 atas nama membela agama.


Simak  tautan ini:

http://news.detik.com/berita/2971337/minta-maaf-soal-insiden-tolikara-presiden-gidi-kami-tak-melarang-salat-id
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS