Friday, July 24, 2015

MENYIMAK DIALOG PRESIDEN JOKOWI DENGAN PARA TOKOH AGAMA

"... (B)angsa ini akan maju kalau berhasil melampaui sekat-sekat suku, agama, dan ras..." kata Presiden Jokowi (PJ, ketika berdialog dengan para tokoh lintas agama di Istana hari ini. Tentu saja pernyataan beliau merupakan sebuah truisme alias suatu yang benar dan bukan barang baru bagi telinga rakyat Indonesia. Persoalannya sejak zaman baheula adalah bagaimana cara YG EFEKTIF utk melampaui sekat-2 tsb? PJ tampaknya percaya bahwa pendekatan komunikasi lintas-ummat beragama melalui para tokoh agama adalah yang paling manjur. Karena itu, menurut PJ, peran tokoh agama adalah kunci, karena "para tokoh agama dapat memberikan nasehat dan wejangan kepada masyarakat agar suasana menjadi sejuk." Benarkah demikian?

Kalau kita lihat kenyataan di lapangan saat ini, apa yang diharapkan PJ dengan yang dilakukan sebagian tokoh agama sangat berbeda. Alih-alih menciptakan suasana sejuk, justru yang paling santer kita dengar, baca, dan lihat adalah wejangan, himbauan, dan anjuran yang bernuansa 'mata dibalas mata'. Bukan berarti tak ada tokoh-2 agama yang berusaha menciptakan suasana tsb, tetapi suara mereka hanya sayup-sayup dan bahkan tak terdengar ditelan oleh kerasnya suara-2 yang mengajukan tuntutan pembalasan dengan mengatas namakan penegakan hukum, perlindungan HAM, penanggulangan ancaman asing, penodaan agama, dll.

Suara-suara yang menyejukkan terlalu lirih dan mereka cenderung minoritas serta kalah populer. Sudah begitu, negara juga tidak serius menyokong mereka dg menjadi megafone agar suara mereka mampu bersaing dengan pihak-pihak yang punya suara-suara yang menggelegar tadi. Negara, dalam hal ini aparat penegak hukum, pejabat dan birokrat pemerintah, dan wakil rakyat malah seakan-akan lebih sepakat dengan suara keras karena akan lebih moncer dan heroik. Apalagi kalau ditambah lagi dengan para politisi yg selalu kehausan akan popularitas dan bernafsu utk mendapat panggung sebagai pembela si tertindas. Walhasil, bisa diprediksi bahwa pihak-2 tokoh agama yg ingin membawa kesejukan sudah kalah sebelum pertarungan dimulai!.

Seharusnya selain menghimbau pemilik suara kesejukan tadi, PJ juga memberikan jaminan bahwa negara akan mendukung penuh, memihak, dan memberikan perlindungan kepada mereka. Sebab kalau hanya "membombong" (membesarkan hati) saja, tetapi tidak ada dukungan dan perlindungan, maka statemen beliau juga hanya berhenti di dlm ruangan pertemuan atau paling jauh sampai di media dan dengan cepat dilupakan. Target PJ yg semestinya adalah para aparat negara, bukan para tokoh agama pemberi kesejukan. Aparat negaralah yang seharusnya didorong, dipacu, dan, kalau perlu, dipaksa PJ agar menjadi 'leading actors' dalam upaya membawa bangsa Indonesia melewati sekat-sekat SARA. Sebab para tokoh agama, khususnya yang bekerja di akar rumput nan jauh dari gemerlapnya Istana dan popularitas itu, sudah jauh lebih lama dan intensif bekerja menciptakan kesejukan ketimbang aparat negara. Justru kerja-kerja mereka yang kemudian sering diganggu oleh kepentingan-2 sesaat para politisi dan seringkali malah diabaikan negara.

Himbauan PJ memang secara substantif mengandung kebenaran, yakni bahwasanya sekat-2 SARA adalah penghalang kemajuan bangsa ini dan, karenanya, mesti dilewati dan dilampaui. Hanya saja, hemat saya, himbauan beliau salah alamat. Seharusnya bukan para tokoh agama yang sudah bekerja keras itu yg beliau himbau dan minta, tetapi aparat negara yg diperintahkan utk melakukan koreksi diri dan bekerja keras melempangkan jalan bagi upaya melewati sekat-2 sara. termasuk membantu mengawasi dan mengerem ulah mereka yg suka menyebarluaskan kebencian dg dalih agama. Dan saya kira perintah PJ akan lebih efektif karena beliau memegang tongkat komando di tangan dan kekuasaan serta wewenang kenegaraan. Silakan dicoba Pak Presiden!

Simak tautan ini:

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/23/078686001/jokowi-bangsa-kita-bisa-maju-kalau-lampaui-sekat-sara

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS