Apa yg pernah saya
tulis dalam status sebelumnya, berjudul "MELIHAT SISI LAIN INSIDEN
TOLIKARA" (https://www.facebook.com/mashikam/posts/10204833061610093),
semakin relevan dengan kian terkuaknya konteks lokalitas, tempat dimana
peristiwa terjadi. Salah satunya adalah tilikan mendalam melalui
investigasi para jurnalis terhadap dinamika kehidupan masyarakat,
termasuk relasi antar-ummat beragama, relasi antara penduduk asli dan
pendatang, serta pandangan-pandangan mereka terhadap relasi tersebut
baik sebelum maupun sesudah insiden.
Jika orang hanya memandang insiden Tolikara dg cara pandang Jakarta yg sangat kental dg pendekatan legal formal, apalagi dibumbui kepentingan politik tertentu, serta disemangati oleh syahwat kebencian, maka hasilnya tentu menjadi sangat mengerikan dan kontraproduktif bagi resolusi konflik yang damai dan berkesinambungan. Insiden Tolikara lantas diwacanakan mirip dengan berbagai konflik sektarian yg sering dijumpai di Jawa dan di wilayah lain di negeri ini atau bahkan di luar Indonesia. Opini dan pikiran publik lalu diarahkan utk mengamini skenario-2 pencarian solusi yg sarat dg kecurigaan, stereotipe, xenophobia, dan kemarahan. Analisa dan rekomendasi yg dimunculkan pun tidak memikirkan dampak dan resiko bagi masyarakat Tolikara yang akan menjalani kehidupan bersama. Bukan tidak mungkin bahwa solusi-2 yang tidak memertimbangkan lokalitas tersebut malah akan meninggalkan luka-luka sosial yg tak tersembuhkan dan kemudian merusak upaya besar nasional, yakni perikehidupan berbangsa yg harmonis dan produktif.
Saya sangat mengapresiasi hasil investigasi jurnalis yg berhasil menguak relasi harmonis dalam masyarakat Tolikara tsb. Terbuktilah bahwa relasi ummat beragama telah terjalin dengan sangat baik karena ditopang oleh tradisi serta adat setempat yang memberikan peluang kepada para pendatang yg berlainan budaya dan agama bahkan etnis dan ras. Penduduk asli Tolikara bukan saja menyambut baik kedatangan para pendatang, bahkan menghibahkan tanah utk pembangunan rumah ibadah kepada mereka yang Muslim. Jika hal ini hanya dilihat dari perspektif legal formal (apalagi dengan nuansa SKB Menteri ttg pembangunan rumah ibadah), tentu akan jadi masalah baru. Demikian pula jika solusi-2 pasca- insiden lainnya nanti tidak menggunakan kearifan lokal seperti ini, niscaya akan memunculkan persoalan-persoalan sosial dan budaya yg baru.
Bukan berarti saya menolak total pendekatan hukum nasional, apalagi jika terkait dengan Konstitusi. Saya setuju bahwa Perda yg melarang pembangunan rumah ibadah selain Gereja GIDI atau harus seizin GIDI, dll. perlu direvisi karena secara prinsip berlawanan dengan hak asasi warganegara dan Konstitusi. Yang saya tolak adalah cara-cara penyelesaian masalah yg dibuat tanpa mengindahkan konteks lokal, termasuk dimensi sejarah dan dinamika masyarakat lokal. Termasuk jika akan memberikan berbagai macam bantuan kemanusiaan pun perlu dilakukan secara bijak dan hati-2 agar tidak menciptakan kesalah-pahaman yg pada ujungnya malah mengarah pada disharmoni.
Simak tautan ini:
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150727065256-20-68254/kisah-kristen-tolikara-hibahkan-tanah-ulayat-untuk-musala/
Jika orang hanya memandang insiden Tolikara dg cara pandang Jakarta yg sangat kental dg pendekatan legal formal, apalagi dibumbui kepentingan politik tertentu, serta disemangati oleh syahwat kebencian, maka hasilnya tentu menjadi sangat mengerikan dan kontraproduktif bagi resolusi konflik yang damai dan berkesinambungan. Insiden Tolikara lantas diwacanakan mirip dengan berbagai konflik sektarian yg sering dijumpai di Jawa dan di wilayah lain di negeri ini atau bahkan di luar Indonesia. Opini dan pikiran publik lalu diarahkan utk mengamini skenario-2 pencarian solusi yg sarat dg kecurigaan, stereotipe, xenophobia, dan kemarahan. Analisa dan rekomendasi yg dimunculkan pun tidak memikirkan dampak dan resiko bagi masyarakat Tolikara yang akan menjalani kehidupan bersama. Bukan tidak mungkin bahwa solusi-2 yang tidak memertimbangkan lokalitas tersebut malah akan meninggalkan luka-luka sosial yg tak tersembuhkan dan kemudian merusak upaya besar nasional, yakni perikehidupan berbangsa yg harmonis dan produktif.
Saya sangat mengapresiasi hasil investigasi jurnalis yg berhasil menguak relasi harmonis dalam masyarakat Tolikara tsb. Terbuktilah bahwa relasi ummat beragama telah terjalin dengan sangat baik karena ditopang oleh tradisi serta adat setempat yang memberikan peluang kepada para pendatang yg berlainan budaya dan agama bahkan etnis dan ras. Penduduk asli Tolikara bukan saja menyambut baik kedatangan para pendatang, bahkan menghibahkan tanah utk pembangunan rumah ibadah kepada mereka yang Muslim. Jika hal ini hanya dilihat dari perspektif legal formal (apalagi dengan nuansa SKB Menteri ttg pembangunan rumah ibadah), tentu akan jadi masalah baru. Demikian pula jika solusi-2 pasca- insiden lainnya nanti tidak menggunakan kearifan lokal seperti ini, niscaya akan memunculkan persoalan-persoalan sosial dan budaya yg baru.
Bukan berarti saya menolak total pendekatan hukum nasional, apalagi jika terkait dengan Konstitusi. Saya setuju bahwa Perda yg melarang pembangunan rumah ibadah selain Gereja GIDI atau harus seizin GIDI, dll. perlu direvisi karena secara prinsip berlawanan dengan hak asasi warganegara dan Konstitusi. Yang saya tolak adalah cara-cara penyelesaian masalah yg dibuat tanpa mengindahkan konteks lokal, termasuk dimensi sejarah dan dinamika masyarakat lokal. Termasuk jika akan memberikan berbagai macam bantuan kemanusiaan pun perlu dilakukan secara bijak dan hati-2 agar tidak menciptakan kesalah-pahaman yg pada ujungnya malah mengarah pada disharmoni.
Simak tautan ini:
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150727065256-20-68254/kisah-kristen-tolikara-hibahkan-tanah-ulayat-untuk-musala/
0 comments:
Post a Comment