Thursday, August 6, 2015

REFLEKSI PASCA-MUKTAMAR NU KE 33: MENGEMBALIKAN KEMANDIRIAN NAHDHIYYIN (1)

Hajatan Muktamar NU ke 33 sudah selesai. Pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sudah terpilih, demikian pula berbagai hasil lain seperti rekomendasi internal dan eksternal, program kerja ke depan, dsb. Bahkan Muktamar ini juga mencatat sebuah peristiwa bersejarah, yakni ada forum kaum muda NU (Kamu NU), yang dihadiri ribuan kaum muda nahdhiyyin, dan menghasilkan berbagai usulan yang bermanfaat bagu=i NU, bangsa dan NKRI. Adalah peran mbak Lisa (Alissa Wahid) dan kawan-kawan sehingga forum ini terlaksana dan sukses.

Kalau masih ada yang tidak puas dg hasil, tentu wajar. Yang penting ketidakpuasan tsb bisa dikelola menjadi lebih konstruktif bagi perbaikan NU di masa depan. Saya kira cara pengelolaannya tidak perlu seperti parpol, yaitu bikin tandingan (muktamar atau pengurus, dll). Tetapi menggunakan cara "belajar dari kesalahan" dan tidak mengulang kesalahan yg sama di masa depan. Saya sependapat bahwa Muktamar ke 33 berkualitas buruk dari segi manajemen dan juga sarat kepentingan politik. Jika kedua perkara ini tidak diselesaikan dengan tuntas oleh pimpinan PBNU, maka hal sama akan terjadi di Muktamar ke 34 dan makin parah. Terlepas dari berbagai rencana kerja dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Muktamar ini, pada akhirnya warga nahdhiyyin akan meminta pembuktian.

Kita masih belum tahu jajaran pengurus lengkap PBNU, namun jika kita lihat hasil pemilihan Rais Am dan Ketum PBNU, saya melihat kontinuitas dari PBNU sebelumnya lebih kuat ketimbang perubahan. Inilah tantangan berat bagi NU sebagai ormas Islam terbesar sejagad dan diharapkan menjadi salah satu kekuatan masyarakat sipil Indonesia (MSI) dalam kiprah bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika NU ingin menjadi kekuatan yang riil, bukan hanya potensial saja, maka etos kemandirian, yg sejatinya menjadi salah satu inti dari corporate culture NU, adalah jangkarnya. Alm GD adalah tokoh utama yg memakai etos ini sebagai landasan perjuangan ketika NU hampir-2 saja terjebak dlm kooptasi rezim Orba. Setelah beliau wafat, etos ini mengalami erosi besar-2an karena orientasi politik muncul kembali dan bahkan kian marak pasca-reformasi.

Implikasi dari tergerusnya etos kemandirian dlm jam'iyyah NU adalah ketergantungan yg tinggi terhadap politisi dan parpol, serta orientasi kekuasaan dalam mengelola organisasi. Saya berharap gerakan puteri alm GD, mbak Lisa, dkk, akan mampu menjadi kekuatan kemandirian yang akan mengoreksi kecenderungan orientasi kekuasaan dan bahaya ketergantungan tsb. Latarbelakang pendidikan dan pengalaman mbak Lisa di gerakan MSI, saya kira, ada miripnya dengan alm GD. Dan puteri tertua Presiden ke 4 itu juga sangat peduli dengan penguatan akar rumput serta advokasi. Itu sebabnya, harapan bagi nahdhiyyin di masa depan tetap saja terletak pada kekuatan kemandirian warganya. Bukan kepada kekuasaan para elitnya.


Simak tautan ini:

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/06/078689606/putri-sulung-gus-dur-tak-ada-alasan-hasil-muktamar-tak-sah
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS