Reaksi keras kubu Gus Hasyim Muzadi (HM) dan Gus Sholahuddin Wahid (SW) terhadap hasil Muktamar NU ke 33, khususnya dalam hal kepemimpinan PBNU, mesti disikapi secara proporsional, nalar, dan memikirkan implikasinya ke depan, baik bagi warga nahdhiyyin, NU sendiri, dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Proporsional, dalam arti memertimbangkan bukan saja aspek legalitas, tetap juga etis, dan pengaruh terhadap keberlangsungan Jam'iyyah NU pasca-Muktamar, terutama PBNU. Nalar, dalam arti apakah reaksi tersebut secara rasional bisa dipertanggungjawabkan. Memikirkan implikasi dalam arti melihat ke depan bagaimana pengaruh reaksi HM dan SW tersebut terhadap konstelasi ormas Islam tsb sebagai salah satu komponen terpenting dlm masyarakat sipil Indonesia, serta pengaruh strategis thd keamanan nasional.
Argumen HM dan GS secara legal bahwa hasil Muktamar 33 diragukan perlu diperhatikan, dicermati, dan direspon oleh PBNU dengan memakai kerangka legal formal yg sama. Namun demikian, saya cenderung tidak setuju dg rencana pendukung HM dan SW utk membawanya ke ranah hukum di Pengadilan. Hemat saya, cara tsb akan lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Perbedaan paham ttg legalitas Muktamar itu lebih baik diselesaikan dg cara NU, yaitu perdebatan antara para ulama ahli fiqih semacam forum Bahtsul Masail (BM), dan hasil akhirnya bukanlah menang dan kalah atau mengulang kembali proses Muktamar. Tetapi lebih kepada munculnya rekomendasi-2 kepada PBNU terkait dengan mendesaknya pengelolaan organisasi yang baik (good governance) pd konteks sekarang dan di masa depan. Termasuk dirumuskannya sebuah peta jalan yg akan membawa pada rekonsiliasi pihak-2 yg berselisih paham, dan upaya melindungi NU dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan politisi yg memiliki akses kepadanya.
Pendekatan legal formal utk mengatasi ketidakpuasan hasil Muktamar seperti ini, selain bukan tradisi NU, juga hanya akan menciptakan kondisi yg mengarah pada perpecahan terbuka. Saat ini baik HM maupun SW masih bisa mengontrol para pendukungnya agar tidak membuat Muktamar tandingan. Tetapi kemungkinan munculnya tandingan itu menjadi kian terbuka dan sulit dikontrol manakala mereka membawanya ke ranah hukum seperti parpol. HM dan SW juga mesti memikirkan dampak negatif dari reaksi warga nahdhiyyin menolak pendekatan demikian dan saya rasa jumlahnya akan lebih besar. Saya khawatir yg akan muncul justru semacam pukulan balik (backlash) terhadap kredibilitas keda sosok yang dihormati warga nahdhiyyin itu. Belum lagi jika pihak-pihak di luar NU, dengan segala macam motif dan targetnya, memanfaatkan pertikaian ini utk melemahkan organisasi para ulama tsb.
Walhasil, kegundahan, keresahan, dan bahkan kemarahan dari HM dan SW serta penduukungnya di satu pihak adalah legitimate dan, karenanya, tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia perlu perlu dikanalisasi oleh PBNU dan dicarikan solusinya agar terjadi rekonsiliasi. Namun di pihak lain, HM, SW, dan pendukungnya jangan sampai menjadikan kekesalan dan kemarahan tsb menjadi badai tsunami bagi NU. Kalaulah badai itu terjadi, biar hanya badai di dalam cangkir saja. Pengurus baru PBNU, para ulama sepuh (termasuk 9 anggota Ahwa), dan para cerdik pandai mesti mencari solusi 'dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.' NU dan warga nahdhiyyin terlalu penting bagi bangsa ini untuk dibiarkan mengalami kemelut apalagi terkena tsunami.
Simak tautan ini:
http://m.jpnn.com/read/2015/08/07/319147/news.php?id=319147
Friday, August 7, 2015
Home »
» REFLEKSI PASCA-MUKTAMAR NU KE 33: TSUNAMI ATAU BADAI DI CANGKIR KOPI? (3)
0 comments:
Post a Comment