Sunday, August 9, 2015

REFLEKSI PASCA MUKTAMAR NU KE 33: MENGHINDARI POLITISASI (4)

Pandangan Martin van Bruinessen (MvB) ttg peran PKB dalam kisruh Muktamar NU ke 33 merupaka hal yg sulit utk dibantah. Partai yg didirikan oleh para sesepuh NU, termasuk Gus Mus (GM) sendiri, itu sangat berkepentingan utk tetap dapat memegang hegemoni dlm organisasi tsb walaupun hal itu dicoba ditepis oleh para elitnya, baik di pusat maupun daerah. Setelah tenggelamnya PKNU, PKB Imin kemudian menjadi alternatif warga nahdhiyyin yg paling utama, sementara PPP yg juga memiliki klaim kesejarahan dg NU harus puas menjadi pilihan berikutnya. Partai2 politik lain tdk memiliki kaitan historis seperti keduanya kendati bukan berarti kaum nahdhiyyin tdk tertarik utk menjadi kader dan pendukung mereka. Faktanya beberapa aktivis dan politisi yg berlatarbelakang NU cukup aktif dan menduduki posisi-2 strategis di Golkar, PDIP, Demokrat, Nasdem, Gerindra, Hanura, dan bahkan PKS.

Hanya saja PKB Iminlah yg memiliki pertaruhan paling besar jika NU menjadi ormas yg kian mandiri apalagi "netral" dlm menghadapi semua parpol. Wilayah2 basis NU seperti Jatim, sebagian Jateng, sebagian Jabar, Kalsel, sebagian Sumsel, dan sebagian Maluku, tentu merupakan a dalan bagi perolehan suara PKB Imin dlm Pileg maupun Pilkada. Tak terlalu berlebihan jika seorang tokoh senior seperti Gus Hasyim Muzadi (HM) dan Gus Solahuddin Wahid (SW) mengatakan bahwa intervensi PKB pada Muktamar ini sangat kuat. Sebegitu kuat sehingga GS sempat mempertanyakan apakah Muktamar ini milik NU atau PKB! (http://m.beritasatu.com/…/295973-gus-sholah-cium-politisasi…). Apa yg dikatakan MvB sejatinya sama dan sebangun belaka dg sinyalemen kedua tokoh senior NU tsb. (http://m.cnnindonesia.com/…/hasyim-soal-muktamar-ulama-tur…/)

Sejarah dan perkembangan NU tentu tak akan lepas dari dinamika politik di negeri ini. Baik langsung atau tidak NU dan warganya akan terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga politik merupakan sebuah keniscayaan dalam perkembangan NUdari dulu, sekarang dan yad. Apalagi sebagai salah satu kekuatan besar dalam masyarakat sipil Indonesia (MSI) NU suka atau tidak akan terus diminta dan bahkan suatu ketika dipaksa utk berkontribusi di dalamnya. Itu sebabnya para elite NU , baik Ulama maupun zu'ama serta kelompok profesionalnya selalu melakukan berbagai inovasi agar kiprah politik tidak mereduksi apa yg menjadi tujuan utama organisasi ini. Di era demokrasi saat ini peran politik NU jelas berbeda dengan sebelumnya karena NU telah berkomitmen utk kembali ke Khittah.

Implikasinya adlh bhw permainan kepentingan politik kekuasaan tidak boleh masuk dan menghegemoni jam 'iyyah. Sebab jika hal ini terjadi maka NU yg akan dirugikan karena tereduksi menjadi semacam alat dan arena penggelaran kepentingan mereka. Jika benar bhw Muktamar ke 33 dikendalikan atau dikontrol oleh kekuatan parpol seperti PKB Imin atau lainnya niscaya kemandirian dan martabat organisasi serta para ulama yg menjadi sokogurunya akan tergerus. Alih2 NU bisa menjalankan peran organisasi dakwah dan pendidikan yg memelihara tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah, ia malah akan menjadi alat politik elite dan kepentingan yg sempit dan berjangka pendek.

Simak tautan ini:

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/07/078689854/kekuatan-pkb-diduga-bermain-di-muktamar-nu
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS