Sunday, September 13, 2015

MENYIKAPI KEWENANGAN DPR YANG TELALU BESAR.

Pandangan mantan Ketua Makamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Mahfud MD (MMD), yg juga pakar ilmu Hukum Tatanegara, tentang wewenang DPR RI, saya kira penting utk disimak dan dicermati secara kritis. Beliau menyatakan bahwa kewenangan lembaga legislatif ikut menyeleksi dan memilih pejabat negara saat ini sudah 'terlalu luas' dan karenanya 'membuat DPR keluar dari pakem konstitusi.' Padahal tugas pokok dan fungsi (tupoksi) DPR menurut konstitusi adalah terbatas yaitu 'melakukan pengawasan, legislasi, dan penganggaran.' Mengapa hal ini terjadi? Menurut MMD sebabnya 'tak terlepas dari kekeliruan saat melakukan reformasi. Saat itu tujuannya menggeser pendulum politik dari presiden ke DPR agar mampu mengimbangi dominasi pemerintah.' Pemberian wewenang yang terlalu luas kepada DPR ini bisa berbahaya, apalagi jika tdk bisa dikawal, yaitu munculnya suatu kekuasan oligarki, bukan demokrasi.

Pandangan MMD tentu didasari bukan hanya dari kepakaran beliau, tetapi juga pengalaman selama menjabat pimpinan lembaga negara yang tugasnya mengawasi kesesuaian produk UU dengan amanat Konstitusi yaitu MK. Perkembangan-2 dalam tatanegara seperti yg terjadi saat ini, khususnya kecenderungan DPR menjadi sangat kuat karena kewenangan yang sangat besar, tentu menjadi salah satu perhatian beliau. Masalahnya adalah apakah hal tsb karena kekeliruan yang terjadi dalam reformasi, dan kalau demikian apakah tidak bisa diubah menjadi lebih seimbang?

Hemat saya, bisa jadi ada kekeliruan tsb, sebab memang semangat untuk mengoreksi kekuasaan rezim otoriter Orba yg sangat dominan dan sentralistik sangat kuat. Hasilnya adalah penguatan DPR secara kelembagaan melalui amandemen UUD dan peraturan perundangan di bawahnya padahal kondisi parpol dan SDM di dalamnya yang masih belum mengalami perubahan yang berarti. Malah pada tingkat tertentu kondisi tersebut mengalami kemerosotan, sebagaimana kita saksikan dalam masalah kualitas politisi di Senayan yang seringkali dikeluhkan publik.

Dalam sebuah sistem demokrasi yang berjalan efektif, sejatinya prinsip 'checks and balances' antara ketiga lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) harus berjalan. Jika tidak, maka ketak seimbangan kekuasaan dan kewenangan akan menciptakan gagngguan dan ancaman thd sistem dan bisa jadi mengubahnya sama sekali. Jika eksekutif terlalu kua, seperti pada rezim Orba, maka otoriterisme, dan bukan demokrasi yg akan berkembang. Jika Parlemen terlampau kuat, maka oligarki parpol dan pemilik modal serta kelompok-2 kepentingan yg akan terjadi. Maka, hemat saya, jika memakai argumen MMD mengeai semangat penguatan Parlemen yang jadi sebab, maka solusinya adalah menuatkan prinsip dan sistem 'checks and balances'.

Tiga solusi MMD, yakni 1) reamandemen UUD; 2) perubahan-2 UU; dan 3) uji undang-2 (judicial review) melalui MK, saya kira perlu dipikirkan, namun bagi saya yang bukan ahli hukum, ketiganya masih belum cukup. Ada persoalan yg tak kalah pentingnya, yaitu penataan ulang sistem partai politik yang menjadi sumber utama masalah, termasuk perilaku DPR yang cenderung memperlemah sistem demokrasi pasca-reformasi. DPR tidak akan menjadi lembaga yang memiliki kewenangan terlalu besar manakala parpol yg menjadi sumbernya juga tertata dengan baik, termasuk memiliki SDM yang profesional, organisasi yang responsif, dan akuntabilitas yang tinggi. Ini semua rasanya merupakan hil yang mustahal jika sistem kepartaian yang berlaku saat ini dipertahankan. Dan ini berarti perlu ada 'reformasi jilid dua' yang targetnya adalah reformasi fundamental dalam sistem kepartaian agar lebih kompatibel dengan sistem demokrasi konstitusional di negeri ini.
 
Simak tautan ini:
 
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS