Sunday, November 29, 2015

KETIKA PARA GARONG MEMBUAT ATURAN TENTANG LEMBAGA ANTI GARONG


Bayangkan kalau seumpama anda memberi kesempatan kepada para garong untuk membikin aturan main tentang tindak pidana penggarongan dan lembaga anti garong. Pertanyaan yg muncul adalah: Mungkinkah para garong itu akan memberi sanksi hukuman paling berat terhadap pidana tersebut? Mungkinkah para garong akan mendukung penguatan lembaga anti garong? Mungkinkah para garong akan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para aparat anti-garong utk bekerja? Mungkinkah para garong akan memlilih pimpinan dan anggota lembaga anti-garong dari tokoh-tokoh yang punya integritas dan musuh para garong? Jawaban atas semua pertanyaan tersebut pasti 100% TIDAK.

Perumpamaan di atas setidak-tidaknya bisa kita gunakan sebagai cerminan logika yang digunakan Pemerintah, cq Kemenkumham, ketika menyetujui agar revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Mayoritas bangsa dan warganegara Indonesia tahu belaka bahwa DPR dan para anggotanya tidak mendukung KPK yang kuat, mandiri, dan efektif dalam menjalankan tugas pemberantasa korupsi di Indonesia. Berbagai upaya pelemahan yang salah satunya dimotori oleh para poliyo, politisi sontoloyo, Senayan sudah terlalu banyak diungkap di media dan medsos. Mereka dengan terang-2an ingin memangkas berbagai kewenangan lembaga anti-rasuah tsb, bahkan membatasi usia lembaga itu. Paling akhir, dengan tanpa malu DPR mencoba menggantung proses pemilihan calon pimpinan KPK yang sudah dilakukan oleh Pemerintah melalui sebuah Panitia seleksi (Pansel).

Nah, kini DPR malah diberi kesempatan menjadi inisiator revisi UU KPK oleh Pemerintah. Ini sama halnya dengan mengatakan bahwa Pemerintah terkesan sudah tidak keberatan lagi jika KPK dilemahkan melalui perundang-2an. Menkopolhukam, yang notabene adalah seorang politisi yang sudah banyak diketahui pandangannya tidak terlalu mendukung penguatan KPK, tentu dengan sangat antusias memberikan cek kosong kepada kawan-kawannya di Parlemen. Patut diduga terjadi konspirasi antara sebagian pejabat Pemerintah Presiden Jokowi dan DPR untuk memperlemah KPK. Sebab, hemat saya, menyerahkan inisiatif revisi UU KPK kepada DPR bersiko sangat serius, apalagi jika masyarakat sipil tidak mampu memberikan tekanan-2 dan pengawasan agar posisi dan kewenangan KPK tetap kuat atau bahkan diperkuat!

Oleh sebab itu, apabila hasil revisi UU KPK ternyata lebih buruk mutunya dan membuat KPK kian tak berdaya, maka Presiden Jokowi pun harus bertanggungjawab. Bukan saja beliau tidak konsisten dengan Nawacita dan platform politik yang didengungkan, tetapi juga berlawanan dengan amanat Reformasi. Karena salah satu agenda reformasi yang paling utama adalah pemberantasan korupsi.

Simak tautan ini:
 
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS