Tuesday, December 1, 2015

KASUS "FREEPORT-GATE" DAN RELASI NEGARA DENGAN OLIGARKI

Membaca ringkasan rekaman lengkap dari apa yg disebut sebagai pembicaraan antara Ketua DPR, Setya Novanto (SN), Dirut Freeport Indonesia, Maroef Syamsoeddin (MS), dan Reza Chalid (RC), yg diberitakan oleh detik.com, semakin meyakinkan saya bahwa sektor negara dikontrol oleh kekuatan elit oligarki yg terdiri atas penguasa politik dan pengusaha. Prinsip utama dalam sebuah sistem demokrasi bahwa kekuasaan adalah "dari, oleh, dan untuk" warganegara, masih belum merupakan sebuah fakta keseharian. Terlepas dari otentik atau tidaknya rekaman tersebut (yg konon akan diperdengarkan dalam sidang MKD-DPR nanti), untuk sementara saya menyimpulkan bahwa kekuatan oligarki tersebut menguasai dan mengontrol sektor negara utk kepentingan optimalisasi kepentingan jangka pendek dan kelompok, bukan utk bangsa dan negara.

Dalam perspektif teoretik Marxian, khususnya yg non instrumentalistik, tentang relasi negara dan penguasa (ruling power) sisebutkan pihak yang disebut terakhir terdiri atas elite politik (parpol yg sedang berkuasa, birokrasi pemerintah) dan pemilik modal. Negara memang memiliki posisi kemandirian relatif (relative autonomy) vis-a-vis penguasa, namun posisi itu dalam situasi yang "cair" (fluid) dan bukan konstan. Pada situasi krisis biasanya sektor negara (dengan dukungan kekuatan dlm masyarakat sipil) mampu menekan kelompok oligarki tsb dan bahkan bisa memaksakan kekuasaan utk mengontrol mereka. Namun dalam situasi 'normal, para oligarkh ini cenderung berada dalam posisi mengontrol karena mereka merupakan motor utama dalam proses pembangunan ekonomi, politik, dan sosial.

Mencermati kasus Freeport-gate yg kini sedang berlangsung dan membaca hasil rekaman lengkap pembicaraan politisi, pengusaha, dan korporasi multinasional itu, kesan saya adalah bahwa negara cenderung dalam kontrol para oligarkh dalam relasi kekuasaan politik di Indonesia saat ini. Alih-alih mengontrol, kemandirian relatif dari sektor negara pun kini sangat ringkih. Ini dapat dibuktikan dengan fakta bhw pusat-pusat sektor negara baik Senayan maupun Istana menjadi ajang pertarungan para oligarkh. Negara tidak mampu menghentikan atau memberikan resolusi yang mampu meredakan konflik mereka dan membela kepentingan bangsa. Yang semakin marak adalah gontok-gontokan antara-kubu politik dalam Pemerintahan, anggota Kabinet, dan di dalam koalisi pendukung Pemerintah di DPR sendiri.

Kontrol kekuatan oligarkhi itu juga bisa dilihat dalam kasus pelemahan KPK, di mana sektor negara cenderung sangat pasif dalam memberikan dukungan thd lembaga anti korupsi tsb. Sebaliknya kekuatan oligarkhi sangat solid dan kian gencar memandulkan KPK dengan berbagai strategi yang digelar secara sistematik, massif, dan terstruktur. Keberadaan dan survival KPK bisa dibilang hanya mengandalkan dukungan dari masyarakat sipil yg sebagian besar masih tetap merupakan loyalis yang konsisten. Sayangnya, kekuatan masyarakat sipil ini tidak mungkin bisa diandalkan terus menerus melawan pelemahan tsb karena masih belum kokohnya fondasi dan kapasitasnya.

Inilah dilema relasi negara dan penguasa dalam sebuah negara kapitalis yang sedang berkembang seperti di Indonesia. Jika negara diharapkan agar lebih assertif dan bisa mengontrol penguasa dan kelompok oligarkhi, maka diperlukan kemandirian yg tinggi dan dukungan masyarakat sipil. Namun dalam kondisi 'normal', maka sektor negara justru seringkali dituntut agar tidak intervensionis karena akan mengganggu dinamika ekonomi dan pasar, pelaksanaan demokrasi, perlindungan HAM, dll. Negara, dengan demikian seolah-olah harus menunggu ada situasi krisis datang utk bisa melakukan tindakan thd oligarkhi. Sebuah dilema yang harus dijawab oleh para penyelenggara dan warga negara Indonesia saat ini dan di masa datang.
 
Simak tautan ini:
 
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS