Monday, November 2, 2015

MENIMBANG SURAT EDARAN POLRI TENTANG 'UJARAN KEBENCIAN'

Jika tidak hati-hati dan ketat dalam memberikan definisi dan pembatasan, maka upaya untuk mencegah "ujaran-2 kebencian" (hate speeches) dan pidana-2 kebencian (hate crimes) hanya akan menjadi bahan kontroversi dan justru memicu kekhawatiran menjadi alat melakukan represi di dalam masyarakat yang terbuka dan menganut sistem politik demokratis. Usaha pihak Polri untuk mengingatkan warganegara RI mengenai adanya aturan main yang melarang melakukan dan menyebarkan ujaran-2 kebencian pada prinsipnya perlu diapresiasi. Tetapi Polri juga tidak bisa memonopoli penafsiran mengenai apa itu ujaran dan pidana kebencian yang sudah digariskan oleh peraturan yg sudah ada. Warganegara secara keseluruhan harus memberikan pengawasan terhadap semua usaha utk memperlebar penafsiran tersebut agar peraturan-2 tsb bermetamorfosa menjadi alat penyumbatan kebebasan berpendapat.

Salah satu caranya adalah dengan memberikan batasan ttg apa itu ujaran dan pidana kebencian. Di negara-2 yang sudah mapan demokrasinya, definisi ttg ujaran kebencian sangat eksplisit yaitu "ujaran yang menyerang, mengancam, atau menghina orang perorang atau kelompok dengan dasar asal-usul kebangsaan, etnisitas, warna kulit, agama, jender, identitas jender, orientasi seksual, atau disabilitas." (speech that attacks, threatens, or insults a person or group on the basis of national origin, ethnicity, color, religion, gender, gender identity, sexual orientation, or disability). Di negara-negara yang menerapkan aturan ttg hal ini, semuanya menggunakan batasan yang kongkrit dan mengaplikasikannya dalam aturan perundang-undangan serta penegakan hukum secara konsisten. Meskipun ada berbagai perbedaan dalam penekanan, tetapi pada intinya definisi ttg ujaran dan pidana kebencian adalah sesuatu yang harus jelas sehingga tidak bertabrakan dengan hak asasi manusia, khususnya hak menyatakan pendapat. (http://www.legal-project.org/issues/european-hate-speech-laws).

Jika kita bandingkan dengan Surat Edaran (SE) Polri, maka definisi yang digunakan dan penafsiran yang bisa diterapkan oleh penegak hukum tsb akan berpotensi meluas. Sekali lagi saya sama sekali tak berkeberatan dengan adanya aturan tentang ujaran dan pidana kebencian, tetapi saya masih punya kekhawatiran bahwa SE ini bisa menjadi sumber masalah. Kenapa? karena istilah-istilah seperti pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dll masih sangat bersifat lentur. Kritik dan kecaman terhadap pejabat negara, misalnya, bisa saja dikategorikan dalam ujaran kebencian karena dianggap menghina dan/ atau sebagai perbuatan tidak menyenangkan. ( http://wartakota.tribunnews.com/2015/10/31/inilah-se-kapolri-tentang-hate-speech-yang-wajib-anda-tahu).

Demikian pula jika kita cermati pada bagian proses dan cara menghadapi hate speech dan penyelesaian tindakan-2 tersebut. Kendati tampak hati-hati dan menggunakan pendekatan yang menggabungan dua pendekatan, keras dan lunak atau hard dan soft power, hemat saya masih belum ada kepastian bahwa pelaku hate crimes seperti dalam berbagai kasus Ahmadiyah dan Syiah bisa diselesaikan dan mengembalikan hak-hak asasi para korbannya. Faktanya, sampai hari ini pun kasus-2 di Sampang, NTB, dll masih belum terselesaikan.

Inisiatif Polri untuk membuka diri dan menyikapi persoalan hate speech and crimes ini perlu diapresiasi namun pada saat yang sama memerlukan pengawasan publik secara ketat. Yang lebih baik adalah jika Pemerintah dan DPR melanjutkan inisiatif Polri ini dengan membentuk peraturan perundangan yang khusus mengenai "hate speeches and crimes" sebagaimana yang sudah dipraktikkan di berbagai negara demokrasi di seluruh dunia. 
 
Simak tautan ini:
 
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS