Sunday, November 8, 2015

TRAGEDI KEBEBASAN BERPENDAPAT DI ERA REFORMASI

Tulisan Mochtar Pabottingi (MP) yang saya tautkan di bawah ini sangat patut dibaca, diapresiasi, dan dicermati oleh seluruh anak bangsa yang mendambakan sebuah pencerahan dalam mengikuti dinamika kehidupan berbangsa di Indonesia saat ini. Sebagai seorang pakar dalam ilmu politik dan sosiologi, dan pengalamannya sebagai periset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), argumen MP sangat kuat, kritis, dan, mungkin saja, menohok berbagai pihak, seperti DPR, Pemerintah, dan terutama para elit politik. Kritik MP telak-telak ditujukan kepada mereka yang kini sedang menikmati hasil reformasi tetapi perilakunya diametral bertentangan dengan semangat kebangsaan, Pancasila, dan tentu saja demokrasi.

Tak heran jika tulisan MP membuat banya pihak yg gerah, termasuk pihak pimpinan LIPI sendiri, yang menulis surat peringatan kepada beliau agar tidak menggunakan gelar Profesor (Riset) karena beliau telah pensiun, dan karena itu tidak mewakili lembaga negara yg prestisius tsb. Menurut MP sendiri, pihak DPR pun gerah dan menekan pihak LIPI yg dikaitkan dengan masalah anggaran! ( http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/07/078716782/kritisi-dpr-mochtar-pabottingi-diperingati-pimpinan-lipi). Bagi saya, sebagai orang yang pernah menjadi peneliti di lembaga tsb dan sebagai kolega MP, reaksi pimpinan LIPI ini adalah absurd dan sangat memrihatinkan serta bisa dinilai sebagai mencederai nilai dasar demokrasi dan keilmuan.

Pimpinan LIPI seharusnya paham bahwa tulisan MP adalah pendapat pribadi dan Konstitusi di Republik Indonesia menjamin dan melindungi hak menyampaikan pendapat pribadi warganegara. Persoalan MP menerakan gelar Professor itu adalah hak beliau karena memang gelar tsb diraih beliau secara sah. Kalaupun LIPI menganggap tak etis, lalu apa kaitannya dengan substansi tulisan MP? Sebagai orang yg kenal pribadi MP, saya sangat yakin tidak ada pretensi beliau utk mewakili LIPI atau memanfaatkan lembaga tsb. Nama besar, kredibilitas, dan integritas keilmuan serta intelektualitas MP sudah diakui secara nasional dan internasional. Justru saya malah mempertanyakan apakah pimpinan LIPI pantas sibuk dengan urusan gelar dan status mantan dari MP. Kenapa pimpinan LIPI tidak menggelar debat publik terbuka antara MP dengan para pengritiknya supaya fair? Seharusnya para peneliti dan seluruh warga LIPI melontarkan protes sekeras-kerasnya kepada pimpinan yang seperti itu!

Orang boleh gusar dan marah serta tak sependapat terhadap MP, tetapi cara sensor seperti itu malah menjadi salah satu bukti kekuatan argumen beliau. Fakta-2 empiris juga banyak yang bisa ditunjukkan bahwa argumentasi MP adalah "spot on" dan "right on the money." Parlemen Indonesia pasca-reformasi memang mengalami degradasi kualitas dan kehilangan trust dari rakyat, dan ini semua bisa dililhat pada hasil-2 survei yang dilakukan oleh banyak pihak termasuk media seperti Kompas. Kritik MP mengenai program Bela Negara (BN) juga bukan sekedar kenyinyiran, walaupun Pemerintah RI dan pendukung program itu bisa saja punya pandangan berbeda.

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS