Friday, December 4, 2015

MEMAKNAI PERSIDANGAN TERBUKA MKD

Kalau mantan Ketua MK seperti Prof. Dr Mahfud MD (MMD) saja sudah memberikan pandangan bahwa pelanggaran etika Ketua DPR RI, Setya Novanto (SN), sudah terbukti, pastinya beliau tidak mengada-ada. Bukan saja reputasi beliau sebagai ilmuwan dan pakar hukum tatanegara, tetapi juga reputasi dan kredibilitas sebagai mantan pimpinan lembaga negara yang sangat prestisius dan berwibawa, yakni Mahkamah Konstitusi. Belum lagi jika diingat bahwa MMD juga pernah menjadi jubir dari Tim Capres Prabowo Subianto (PS) dan cawapres, Hatta Rajasa (HR), yang notabene adalah di pihak yang secara politik berseberangan dengan kubu Jokowi-JK.

Saya mencoba mengikuti proses persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) selam dua hari terakhir, kendatipun tidak terus menerus, dan saya sependapat dengan MMD. Walaupun mayoritas anggota MKD mencoba dengan sekuat tenaga utk mengalihkan persoalan mengenai pelanggaran etika, menjadi persoalan pembuktian, soal karakter pengadu dan saksi, serta melakukan berbagai penafsiran yang bermacam-macam terhadap teks rekaman, tetapi mereka tetap gagal utk merubah fakta: kehadiran SN bersama Muhammad Reza Chalid (MR) dalam pertemuan dan perbincangan yang terkait dengan saham Freeport di dalamnya.

Pengadu dan saksi, Sudirman Said (SS) dan Maroef Sjamsoeddin (MS), cukup konsisten dan terbuka dalam memberikan pandangan mereka bahwa apa yang terjadi dalam pertemuan-pertemuan tsb adalah berpotensi pelanggaran etik. Karena itu, SS melaporkan kepada MKD DPR agar dilakukan pemeriksaan. Bagaimana keputusan MKD, tentu menjadi urusan lembaga milik DPR tsb. Publik yang juga mengikuti proses persidangan tentu juga memiliki penilaian sendiri yang bisa kita lihat, baca, dan dengar dalam komentar-komentar mereka di media dan medsos. Dan saya berani mengatakan bahwa kecenderungan suara publik juga sama dengan pandangan MMD serta pandangan saya.

Apakah dengan demikian urusan SN sudah selesai di MKD, apapun putusan lembaga itu? Saya kira tidak. Sejak mulai kasus ini muncul, saya telah mengatakan bahwa tidak cukup jika kasus ini berhenti di MKD. Bukan saja karena kemungkinan akan "mbulet" dan, ujung-2nya, sanksi yang dijatuhkan juga super ringan, tetapi juga karena ada unsur-2 pidana yg mesti terus ditelusuri dan diperiksa. Dalam hal ini saya mendukung sepenuhnya pihak Kejaksaan Agung dan juga pandangan sementara para pakar hukum yang menyatakan bahwa telah ada unsur pidana dalam kasus tsb. Saya menolak pandangan Wakil ketua DPR, Fadli Zon (FZ), yang menuding ada konspirasi antara Kejagung dengan MR, dg alasan pemeriksaan yang dilakukan pihak pertama kepada yang kedua terjadi pada tengah malam (http://politik.rmol.co/read/2015/12/04/226857/Fadli-Zon:-Pasti-Ada-Konspirasi-Kejagung-Periksa-Bos-Freeport-Tengah-Malam-). Pihak Kejagung tentunya punya alasan tersendiri yang bisa dipertanggungjawabkan secara legal, mengapa hal itu terjadi dan hal itu tidak bisa dijadikan dasar utk menuduh sebagai konspirasi.

Akhirnya, bagi saya tidak terlalu penting apakah putusan MKD akan menjatuhkan sanksi yang serius, misalnya memecat SN dari jabatan dan keanggotaan di DPR, atau cuma enteng-2an seperti dalam kasus "Trump-gate" sebelumnya. Yang penting adalah rakyat Indonesia berhasil membuat Parlemen utk akhirnya mau terbuka dalam pemeriksaan kasus ini sehingga publik bisa mengikuti proses tsb, dan sekaligus dapat menilai kualitas (keahlian dan integritas moral) para anggota MKD. Ini lebih bermakna ketimbang berharap terlalu banyak kepada MKD agar bisa bersikap mandiri dan mengikuti aspirasi rakyat, yang kemungkinan besar akan mengecewakan. 
 
Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS