Tuesday, January 19, 2016

MENIMBANG URGENSI MEREVISI UU TERORISME

UU tentang pemberantasan terorisme (UUPT) yang berlaku saat ini, yakni UU No. 15 Th. 2003 sudah berusia sekita 13 tahun dan semakin kuat suara yang menghendaki agar terjadi revisi atasnya, dengan berbagai alasan. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Saud Usman (SU) , misalnya, menengarai beberapa kelemahan penting UU tsb, antara lain belum diaturnya beberapa hal: 1) pemidanaan terhadap perbuatan yang mendukung tindak pidana terorisme; 2) perbuatan penyebaran kebencian dan permusuhan; 3) aturan ttg masuknya seseorang dalam organisasi terorisme; dan 4) masalah rehabilitasi. Selain itu, masih kata SU, perlu ditambahkan perubahan dalam UU tsb, yaitu menyangkut perubahan masa penahanan dari tujuh hari menjadi satu bulan, dan perubahan masa penahanan untuk keperluan penyidikan dari empat bulan menjadi enam bulan. (http://nasional.sindonews.com/read/986884/14/miliki-kelemahan-bnpt-usul-perubahan-uu-terorisme-1428495634).

Saya pribadi melihat selain perubahan di atas, sangat diperlukan aturan baru utk memerkuat posisi BNPT itu. Lembaga anti teror ini selama ini payung hukumnya masih lemah dan tupoksinya memerlukan pemfokusan, sehingga tidak rancu. Menurut komisioner Komnas HAM, Meneger Nasution (MN), misalnya, "kerja BNPT dinilai campur aduk antara pengambil kebijakan, supervisi, dan operasional." Hemat saya, BNPT harus lebih fokus pada aspek pengambil kebijakan nasional dan supervisi ttg masalah terorisme, sedang operasional bisa dilaksanakan oleh aparat hukum serta alat keamanan negara seperti Polri, TNI, dan Intelijen Negara. Dengan pemfokusan ini, maka tidak perlu khawatir adanya tumpang tindih antara BNPT dengan lembaga lainnya, khususnya intelijen negara. Dalam menangani terorisme, BNPT adalah leading sector utk merumuskan kebijakan nasional yang berada di bawah Presiden RI dan outputnya harus menjadi landasan program dan kegiatan anti terorisme oleh seluruh pemangku kepentingan.

Mengenai kehendak pihak intelijen negara agar kewenangan menangkap dan menahan ditambah melalui revisi UU ini, saya masih belum setuju. Kewenangan tersebut lebih baik berada pada Polri. Saya sepakat dengan MN, bahwa "(r)evisi UU bukan untuk memberikan kewenangan bagi intelijen melakukan penangkapan. Bukan berarti intelijen memiliki kekuatan menjadi penegak hukum. Karena penegak hukum tetap dalam koordinasi Polri." (http://news.detik.com/berita/3122000/revisi-uu-terorisme-komnas-ham-jangan-beri-kewenangan-intelijen-menangkap). Setidaknya, dalam pandangan saya, kondisi politik dan persepsi publik thd intelijen masih belum kondusif jika kewenangan penegakan hukum seperti itu diberikan. BIN lebih baik fokus pada pengembangan kapasitas terutama dalam penggalangan ketimbang menambah kewenangan seperti penangkapan, penahanan, dan apalagi penyerangan.

Simak tautan ini:

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/01/160118_indonesia_wacana_revisi_uu_terorismehttp://nasional.sindonews.com/read/986884/14/miliki-kelemahan-bnpt-usul-perubahan-uu-terorisme-1428495634
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS