Friday, January 15, 2016

PASCA-TEROR DI SARINAH: BIN DAN "BLAME GAME"

Kiprah Badan Intelijen Negara (BIN) di bawah pimpinan Letjen (Purn) Sutiyoso, kini mendapat sorotan di media dan Senayan karena dianggap sebagai pihak yang kecolongan sehingga teroris bisa melakukan serangan di siang bolong di pusat ibu kota Negara. Media, terutama medsos dengan cepat bereaksi cukup keras terhadap mantan Gubernur DKI tsb, demikian juga sementara pengamat dan politisi di Senayan dan parpol.

Ihwal tudingan "kecolongan" itu tentu saja sulit utk dibuktikan, tetapi sulit juga utk ditolak atau diabaikan. Intelijen tidak selalu bekerja dalam wilayah yang transparan, sehingga publik tidak akan bisa memantau dan mengevaluasi berdasar fakta. Karena aturan main yang berlaku, intelijen juga tidak akan membuat laporan terbuka untuk publik terkait operasionalnya. Yang bisa dilakukan secara legal formal adalah pertanggungjawaban oleh user utamanya. Dalam hal BIN, sebagai lembaga dan koordinator komunitas intelijen, user utama itu adalah Presiden. DPR mungkin saja bisa mengajukan berbagai pertanyaan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi I, namun forum itu berlangsung tertutup dan tidak akan bisa mendalam sampai pada operasional. Seandainya pengawas yang dibikin oleh DPR sudah jadi, mungkin saja Parlemen bisa mengevaluasi, kendati juga belum jelas benar sampai di mana kewenangan perangkat Parlemen ini.

Tetapi kritik yang muncul terhadap lembaga telik sandi itupun perlu menjadi masukan penting. Intelijen adalah 'mata dan telinga' sebuah negara dalam sistem keamanan nasionalnya. Tidak ada negara yang modern dan kuat kamnasnya yang tidak memiliki perangkat intelijen yang kuat. Jika ada ancaman yang nyata seperti aksi teror di Sarinah dan juga sebelumnya, maka sudah barang tentu akan muncul gugatan terhadap kapasitas dan kualitas intelijen. Namun sebaliknya, intelijen tentu tidak akan dan tidak bisa mengklaim sebagai pihak yang berjasa jika situasi terkendali, aman, dan bebas dari ancaman.

Kritik tentu tidak boleh menjurus kepada sebuah permainan menyalahkan alias 'blame game' kepada komunitas intelijen. Apalagi jika ternyata, seperti dikemukakan Ka-BIN, ada berbagai aturan hukum dan perundangan yang menjadi rambu-2 yang memiliki implikasi signifikan terhadap kinerja intelijen negara. UU intelijen yang berlaku saat ini memang berbeda dengan 'rule of engagement' intelijen pada era sebelumnya, dan ini belum begitu banyak diketahui publik dan bahkan di kalangan para penyelenggara negara itu sendiri. BIN harus menerima berbagai kritik yang konstruktif, tetapi tidak perlu merespon "blame game', apalagi yang memiliki tendensi politisasi.

Soal bagaimana kinerja Ka-BIN dan lembaga yang dipimpinnya, Presiden RI sebagai pemakai (user) utama tentu punya hak dan kapasitas utk menilai secara mendalam. Penilaian tersebut bukan saja dari aspek profesionalitas dan capaian target, tetapi juga dari aspek lain termasuk politik. Yang jelas BIN dan komunitas intelijen adalah salah satu alat negara terpenting yang berada di garis depan dalam menjaga dan memperkuat keamanan nasional. Jangan sampai lembaga ini menjadi sasaran 'blame game' dari sementara kelompok kepentingan yang justru akan memperlemah kedaulatan dan keamanan NKRI.

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS