Monday, June 27, 2016

DPR MENEPUK AIR DI DULANG, MEMERCIK MUKA SENDIRI

Keluhan Fachri Hamzah (FH), Wakil Ketua DPR-RI, tentang Pemerintah yang menurutnya tidak mau dikontrol oleh DPR, saya kira memerlukan pencermatan kritis. Jika kita mau konsisten dengan sistem demokrasi berdasarkan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, maka prinsip kontrol dan pengawasan serta keseimbangan (checks and balances) adalah sebuah sine qua non dalam menjalankan pemerintahan. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, ketiganya harus bekerja dengan landasan prinsip tersebut agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan serta memiliki akuntabilitas terhadap pemegang kedulatan, yakni rakyat.

Persoalannya adalah antara teori dan praktik seringkali terjadi diskrepansi yang lebar. Kontrol dan pengawasan yang dimiliki oleh DPR terhadap Pemerintah kadang tidak dapat dijalankan karena berbagai sebab: jika Pemerintah terlalu kuat seperti dalam sistem ototriter masa Orde Lama dan Orde Baru, maka Parlemen hanya berperan sebagai pemberi legitimasi alias cap jempol (rubber stamp) belaka terhadap apa yg diinginkan oleh eksekutif. Sebaliknya, jika Parlemen terlalu kuat, maka pelaksanaan sistem presidensiil (di mana Presiden sebagai Kepala Pemerintahan) akan tidak efektif dan proses pemerintahan tidak akan stabil.

FH bisa jadi benar jika asumsi dasar yang digunakannya adalah bahwa pemerintahan Presiden Jokowi (PJ) sudah terlampau kuat sehingga tak terkontrol lagi oleh Parlemen. Tetapi saya meragukan asumsi FH tsb, karena di era pasca-reformasi saat ini justru kecenderungan yang terjadi adalah kuatnya Parlemen, khususnya DPR. Banyak kasus yang bisa dijadikan bukti bahwa DPR justru menjadi biang keladi ketidak efektifan kinerja Pemerintah pasc-reformasi.

Kalau sekarang FH melempar bola ke arah Pemerintah, seakan-akan tak mau dikontrol, saya justru melihat persoalannya ada di DPR sendiri yang mengalami proses kemerosotan dalam kinerjanya dan kehilangan kepercayaan dari rakyat yang memilihnya. Pada saat yang sama PJ berhasil melakukan pemberdayaan dlm pemerintahannya sehingga semakin terkonsolidasi serta, secara gradual, berhasi mengimbangi kekuatan DPR.

Kemerosotan kekuatan DPR merupakan resultante dr proses pembusukan yg terjadi pada parpol-2 yang menjadi sumber rekrutmen anggota DPR. Parpol yang idealnya merupakan kekuatan politik strategis dalam sebuah sistem demokrasi konstitusional, justru tampil sebagai biang keladi paling utama dalam kemerosotan sistem tsb. Kualitas anggota DPR yg semakin amburadul dan sarat dengan politisi sontoloyo (poliyo) serta korup merupakan bukti yg sulit dibantah.

Walhasil, keluhan FH malah seperti menuding diri sendiri: DPR gagal menjalankan fungsi kontrol, pengawasan dan penyeimbang thd eksekutif karena kebobrokan yang terjadi di dalamnya sendiri. Semestinya FH dan seluruh anggota DPR mengaca lebih dulu sebelum menyalahkan PJ dan pemerintahannya.

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS