Saya sependapat dengan pandangan Kapolri Jenderal M. Tito Karnavian (MTK) agar operasi Tinombala diteruskan untuk melakukan tekanan (pressure) thd kelompok teroris Santoso (S) dan tidak dihentikan karena sang gembong dan anak buahnya telah tewas ditembak oleh tim gabungan anti-teros Polri dan TNI beberapa hari lalu (http://skalanews.com/detail/hukum/kriminal/266725-Kapolri-Pastikan-Tes-DNA-Santoso-Positif?utm_content=buffercabf3&utm_medium=social&utm_source=twitter.com&utm_campaign=buffer). Pandangan dari pihak-pihak yang menyerukan agar operasi Tinombala dihentikan seperti yg dilontarkan oleh tokoh ICMI dan mantan Ketrua MK, Prof. Dr. Jimly As-Shiddiwie (JA), saya kira perlu dicermati secara kritis dengan mempertimbangkan aspek strategis dan spektrum keamanan nasional yang lebih luas (http://politik.rmol.co/read/2016/07/20/253766/ICMI:-Operasi-Tinombala-Harus-Distop-Jika-Santoso-Terbukti-Tewas-).
Berbeda dengan pandangan JA, tewasnya S bukan berarti berhentinya aksi kelompok teroris, karena mereka tentu sudah menyiapkan pengganti baru. JA barangkali melupakan fakta bhw kelompok Santoso adalah bagian integral organisasi terorisme internasional yang memiliki kapasitas jejaring dan manajemen serta pengkaderan yang tak kalah dengan organisasi kemasyarakatan di negara-2 modern dan maju. Jika JA menganggap organisasi teroris yg ada di Indonesia hanya seperti organisasi kriminal misalnya gangster atau perampok yg hanya berlingkup daerah atau nasional, saya kira harus dikoreksi. Sebab, organisasi teroris internasional memiliki bukan saja personel terlatih, jejaring yang luas, dan alutsista terkini, tetapi juga memiliki dukungan kekuatan finansial serta manajemen sumberdaya manusia yang kuat dan pengalaman berperang gerilya. Jika tidak demikian bagaimana mungkin organisasi teroris seperti Al-Qaesa dan ISIS serta JI bisa bertahan begitu lama padahal menghadapi kekuatan militer gabungan baik negara-2 adikuasa dan sekutunya?.
Ini belum lagi memperhitungkan pengaruh ideologi trans-nasional mereka serta kemampuan melakukan propaganda secara massif dan memanfaatkan teknologi informasi yang terbaru, termasuk dan tidak terbatas pada internet dan jejaring media sosial di seluruh dunia. Jika para tokoh masyarakat sipil Indonesia seperti JA menganggap bahwa penghentian operasi Tinombala bisa mencegah munculnya "Santoso baru", saya kira perlu dipertanyakan validitasnya. Sama halnya dengan munculnya pengganti Usamah bin Laden (UL) dan lain-2 tokoh utama jejaring terorisme internasional. SJika hanya dipandang dari aspek politik kepentingan jangka pendek, tawaran penghentian operasi itu bisa saja menarik, tetapi dari aspek strategis kamnas akan sangat merugikan upaya penanggulangan terorisme di negeri ini.
Dengan demikian, pandangan Kapolri MTK bahwa pressure thd kelompok Santoso mesti tetap dilakukan adalah valid dilihat dari perspektif strategis dan jangka panjang. Terorisme bukan kriminalitas biasa, tetapi merupakan gerakan politik insurgensi dengan menggunakan kekerasan dan penghancuran massif dan acak, dalam rangka mengambil alih kekuasaan negara. Karena itu negara-2 seperti AS, EU, Rusia, Tiongkok, dll menganggap terorisme sebagai bagian dari perang asimetris sehingga perlu ada respon yang tepat dan efektif baik melalui pendekatan keras (hard power) maupun lunak (soft power). Karenanya statemen Kapolri, "(t)ekan dulu mereka sampai tokoh-tokoh penting selesai baik dengan cara keras, koersif, maupun persuasif," menjadi relevan dan perlu mendapat dukungan Pemerintah dan rakyat Indonesia.
Tak bisa dipungkiri bhw pendekatan persuasif juga merupakan bagian integral dalam menghadapi teorisme. Pendekatan tsb adalah program deradikalisasi yang pada prinsipnya ditujukan untuk memutus dan mereduksi sampai titik terendah pengaruh ideologi radikal di dalam masyarakat. Dan targetnya bukanlah hanya para teroris yang dipenjara serta keluarganya belaka, tetapi juga termasuk kalangan masyarakat sipil dan organisasi-2 di dalamnya. Sebab deradikalisasi memiliki jangkauan yang jauh lebih luas, panjang dan mendalam. Deradikalisasi bisa diibaratkan vaksinasi untuk menangkal virus ideologi radikalisme agar tidak berjangkit dan meruyak di dalam batang tubuh bangsa Indonesia pada umumnya.
Walhasil, tewasnya Santoso dan anak buahnya adalah sebuah capaian sangat penting tetapi bukan merupakan akhir dari operasi anti terorisme. Justru jika operasi tsb diakhiri secara mendadak dan terkesan 'grusa-grusu', maka momentum yang telah diperoleh oleh timgab Polri-TNI, melalui upaya dan kerja keras lebih dari setahun lamanya itu, akan muspro. Pendekatan penegakan hukum dan deradikalisasi harus berjalan seiring dan komplementer. Tetapi keduanya tidak bisa "digebyah uyah" dan dicampuradukkan tanpa memperhatikan dimensi strategis dan ancaman yg dihadapi.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment