Monday, July 25, 2016

QUO VADIS KEBIJAKAN KESEHATAN NASIONAL

Sebagai orang yang awam mengenai masalah kedokteran dan farmasi, saya tentu tidak punya kapasitas utk bicara masalah teknis maupun kebijakan publik terkait kedua bidang yg sangat strategis dan vital bagi bangsa dan negara serta kemanusiaan itu. Namun sebagai warganegara dan pihak yang setiap hari terlibat dengan penggunaan obat-obatan, tentu setidaknya saya punya hak untuk ikut menyampaikan pandangan pribadi mengenai persoalan yang kini menjadi salah satu sorotan publik di negeri ini: kasus vaksin palsu, obat palsu, dan buruknya sistem kesehatan nasional.

Tak kurang dari organisasi masyarakat sipil bernama Gerakan Moral Dokter Indonesia Bersatu (GMDIB) yang menyuarakan keprihatinan dan sekaligus protes serta kegeraman (sekurang-2nya menurut bacaan saya) terhadap kondisi kekinian terkait kebijakan kesehatan di negeri ini. Dan saya tentu saja cenderung mengamini pandangan tersebut berdasarkan pengalaman pribadi dan apa yang berkembang akhir-akhir ini. Munculnya kasus vaksin palsu tidak bisa hanya dibebankan kepada RS dan para dokter, tetapi semestinya menukik pada persoalan yg lebih mengakar, yakni kebijakan nasional kesehatan kita. Dokter dan RS kendati mereka merupakan pihak pelaksana dan/ atau medium dalam kasus tsb, tetapi mereka juga merupakan bagian dari korban sebuah kebijakan yang sebenarnya sudah diketahui buruk dan membuka peluang terjadinya malpraktik secara masif, sistematis, dan terstruktur.

Jika GMDIB teah mensinyalir bahwa bukan hanya vaksin dan obat, tetapi juga dokter pun ada yang palsu, tentu ini sudah merupakan lampu merah dari sistem kesehatan nasional. Ia tidak bisa diselesaikan dengan menuding dan mengkriminalisasi dokter dan RS saja, tetapi juga termasuk overhaul sistem yang sudah nyata-nyata memungkinkan terjadinya pelanggaran tsb. Masalh ini tdk bisa hanya direspon kasus perkasus saja, sebab jika hanya demikian sama saja dengan menyelesaikan masalah yg ada di puncak gunung es saja. Penyelesaian kasuistis dalam masalah malpraktik kesehatan ini memerlukan penyelesaian yang juga struktural, dan harus di mulai dari level paling atas yakni pembuat kebijaksanaan kesehatan nasional.

Tanpa bermaksud menyepelekan pentingnya tindakan hukum yg dilakukan dalam kasus vaksin palsu dan obat palsu serta dokter palsu ini, saya lebih cenderung mendukung agar pendekatan transformasi struktural tsb dilakukan. Jika para pengambil keputusan nasional tidak menganggap bahwa masalah ini telah menjadi salah satu ancaman serius thd keamanan nasional, maka mereka hanya akan merspon dengan pendekatan individual, kasuistik, dan bahkan menyalahkan para korban (termasuk menyalahkan para dokter) saja. Sedangkan pihak-2 lain seperti perusahaan farma raksasa dan kakitangannya tidak pernah tersentuh, karena biasanya mereka memiliki dukungan politik dan finansial serta humas yang sangat kuat (http://news.liputan6.com/read/2560276/dokter-indonesia-bersatu-penjualan-obat-seperti-pasar-bebas). Dan hal ini bukan hanya fenomena Indonesia, tetapi juga di negara-2 maju juga.

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS