Friday, November 18, 2016

AHOK DAN SITUASI "KAFKAESQUE"

Belum tuntas berurusan dengan dugaan penistaan Al-Qur'an dan agama, kini Gubernur DKI (non-aktif), Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, mesti siap-siap menghadapi tudingan baru: melakukan fitnah terhadap para demonstran 411. Asal muasalnya adalah interview sang petahana dengan jejaring TV Australia, ABC, terkait dengan kasus yg dihadapinya dan demo besar-besaran di jakrta yang menuntut agar proses hukum dipercepat dan, tentu saja, dengan ujung beliau masuk bui.

Ahok menjawab pertanyaan wartawati ABC mengenai siapa yang mendanai demo tsb. Ahok mengatakan tidak tahu, tetapi percaya bahwa Presiden Jokowi (PJ) tahu karena mendapat informasi intelijen. Lalu Ahok menambahkan: "Tidak mudah, anda mengirim lebih dari 100.000 orang, kebanyakan dari mereka, jika anda melihat berita, mereka mengatakan mendapat uang Rp 500.000 ," (It is not easy, you send more than 100,000 people, most of them, if you look at the news, they said they got the money, 500,000 Rupiah). Kalimat 'mendapat uang Rp 500.000 " itulah yang kemudian dipermasalahkan oleh para penolak Ahok dan kemudian mereka melaporkan ke Bareskrim Polri.

Belum jelas bagaimana kelanjutan laporan tsb sampai status ini saya tulis. Tetapi tidak akan terlalu mengagetkan jika Polri akan menanggapi serius laporan tsb dan, bisa jadi, Ahok harus menghadapi proses hukum yang baru lagi. Jika sebelumnya penistaan agama, kini tuduhannya adalah pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah terhadap para demonstran, dan bisa pula berkembang. Walhasil, Ahok benar-benar ibarat "sudah jatuh tertimpa tangga pula." Dan masih bisa bertambah.

Melihat gelagat seperti ini, Ahok memang seperti tak mempunyai jalan keluar yg elegan. Sang Gubernur non aktif itu bisa dikatakan berada dalam sebuah situasi "Kakfaesque", yakni sebuah keadaan sureal dan sangat berbahaya karena adanya distorsi informasi, kepalsuan tuduhan, pemutar balikan fakta, dan peradilan sesat yang 'tumplek blek' jadi satu menimpanya. Pihak lawan akan mengintip dan menyelidiki secara mikroskopik apapun yg diucapkan dan diperbuat. Bukan hanya di ruang publik, tetapi bisa saja di ruang privat sekalipun. Pertanyaan dan gugatan dari publik, khususnya dari mereka simpati terhadap pria asal Belitung itu, tentang bagaimana dengan pihak-2 lain yg juga mengucapkan ujaran dan melakukan perilaku diduga berisi kebencian, pencemaran nama baik, bahkan fitnah, menjadi tak lagi diperhatikan atau dianggap penting.

Situasi "Kafkaesque" yg dialami Ahok ini adalah simptom dari munculnya kekuatan totaliter di negeri ini yang akan melindas apapun. Tak ada lagi kebenaran kecuali kebenaran sang pemilik kekuatan, tak ada lagi hukum kecuali yg didefinisikan dan dimaksudkan hasilnya terlebih dahulu oleh seipmilik kekuatan. Dalam situasi seperti ini, upaya mencari keadilan akan menjadi karikatural. Sebab upaya itu sendiri akan dianggap dan dituding sebagai sebuah pelanggaran hukum!

Pertanyaannya lalu, mengapa situasi Kafkaesque itu terjadi di siang bolong dalam sebuah masyarakat yg konon sedang berdemokrasi ria? Jawabannya bisa berbagai. Salah satunya adalah, barangkali kita sendiri yg keliru karena menganggap bahwa kita sudah sampai dalam sebuah demokrasi, padahal nyatanya belum. Sebab jika demokrasi bekerja, tentu kekuatan totaliterisme seperti itu akan bisa diminimalisasi, bukan malah berkembang kian besar. Dan apa yg dihadapi Ahok akan semakin sering terjadi terhadap mereka yang mencoba melawan ideologi dan praksis totaliter. Sebab pihak yang semestinya menjaga dan membela demokrasi tampaknya semakin kompromistis dan, bahkan, cenderung ketakutan menghadapi desakan kekuatan totaliter yg didukung massa dan ideologi pemuja kekerasan.

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS