Seluruh perhatian kini sedang diarahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara mulai hari ini, Selasa 13 Desember 2016 sampai beberapa hari atau minggu mendatang. Buka saja perhatian dari masyarakat DKI, tetapi juga seluruh Indonesia dan bahkan publik internasional yg memiliki kepentingan dengan negeri kita. Kasus dugaan penistaan Al-Quran dan Islam yang telah menjadi isu politik nasional tersebut kini memasuki babak yang paling penting, yaitu proses peradilan. Selain pihak yang mengajukan tuntutan, tentu saja pihak yang dituntut sangat mengharap bahwa proses peradilan ini akan berjalan secara fair dan apapun keputusan yang dijatuhkan oleh Hakim, akan mengikuti "due process of law" dan "fair trial".
Bagi saya sebagai warganegara yang mempercayai demokrasi konstitusional sebagai sistem yang terbaik untuk bangsa dan negara Indonesia, maka proses peradilan ini melampaui kepentingan dari sang tertuduh, Ahok, maupun para penuntutnya. Sebab proses peradilan hari ini dan seterusnya, bisa jadi merupakan proses peradilan bagi sistem demokrasi itu sendiri, atau, katakanlah, "democracy on trial". Mengapa saya katakan demikian, karena dalam perjalanan mempraktikkan demokrasi konstitusional pasca-reformasi, sya melihat baru kali ada sebuah kasus pidana yang begitu berdampak luas terhadap kesinambungan demokrasi karena ia sangat terkait dengan salah satu pilarnya yaitu 'rule of law.' Tanpa rule of law, maka seluruh bangunan sistem demokrasi konstitusional akan runtuh dan berarti yang akan kita saksikan berikutnya adalah prose kembalinya sistem politik otoriterisme dan, bahkan, munculnya sistem totaliterisme di negara kita.
Kasus Ahok, seperti kita saksikan sejak peretengahan Oktober tahun ini, sejak awal bukanlah semata-mata sebuah kasus penegakan hukum karena adanya tudingan penistaan. Hemat saya, kasus ini adalah sebuah mata rantai dari pertarungan politik (political struggle) yang terjadi di tataran elite. Gubernur non-aktif Ahok menjadi semacam target yang pas (a convenient target) dalam rangka intnsifikasi pertarungan tersebut, karena dari kasus ini maka suatu proses mobilisasi massa dan konsolidasi kekuatan kepentingan-2 politik dapat dilakaukan dengan lebih cepat, massif, dan sistematis. Berbagai komponen kekuatan dapat berkumpul dan termobilisasi yang sebelumnya nyaris tak mungkin dilakukan, karena kemudian disuarakan dalam isu penistaan agama. Ahok, jadinya, adalah sebuah ikon "musuh bersama" yang dapat dimobilisasi utk memerkuat pertarungan yg lebih besar dengan sasaran yg lebih besar yakni sebuah pergantian rezim atau "a regime change" di negeri ini.
Walhasil, proses peradilan kasus Ahok adalah sebuah pertaruhan sangat besar bagi kesinambungan proses konsolidasi demokrasi sejak digulirkan pasca-1998. Praktik demokrasi konstitusional di Indonesia sampai saat ini telah melewati tahapan transisi dan pelaksanaan demokrasi formal dan sedang menuju konsolidasi. Tahapan terakhir itulah yang akan menentukan apakah demokrasi konstitusional akan tetap bertahan dan menjadikan negeri ini tegak berdiri di atas fondasi Pancasila dan UUD NRI 1945, sebagaimana dicita-citakan oelh para pendiri bangsa dan negara. Harus diakui bahwa proses pelaksanaan demokrasi sampai saat ini masih mengidap berbagai kelemahan, namun setidaknya fondasinya telah kian kokoh dan arahnya pun sesuai dengan harapan warganegara. Jika kelemahan-2 masih ada dan perlu diperbaiki, hal itu bukanlah berarti bahwa sistem demokrasi konstitusioan kita keliru, tetapi ia adalah sebuah tantangan bagi perbaikannya.
Kita tentu berharapan sangat tinggi kepada para penegak hukum dan pemegang otoritas yudisial bahwa proses peradilan kasus Ahok akan benar-2 berlangsung lancar dan sesuai dengan aturan main. "Sekalipun langit runtuh, keadilan harus ditegakan," demikian maksim yg sering kita dengar. Kasus Ahok bukanlah kepentingan seorang petahana yang sedang mengadu nasib dalam Pilkada, tetapi adalah nasib sistem demokrasi dan masa depan NKRI.
0 comments:
Post a Comment