Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) tampaknya tak ingin dianggap lemot dalam memproses kasus dugaan penistaan agama yang disangkakan kepada Gubernur DKI non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok. Kurang dari seminggu, atau tepatnya bahkan 3 hari, setelah hasil penyidikan diselesaikan oleh Bareskrim Polri, maka Kejagung telah menyelesaikan pemberkasan tuntutan kasus tersebut (P-21) dan melimpahkannya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut). Konon hari Selasa depan (13/12/16) sidang pertama akan digelar oleh PN Jakut. Inilah barangkali proses kasus yang terkait pidana penistaan agama yang tercepat yang pernah terjadi di negeri ini.
Sayangnya, greget dan kecepatan pihak Gedung Bundar (Kejagung) ini bukannya mendapat apresiasi dan keplok, tetapi malah mengundang komentar miring dari pihak penggiat HAM dan demokrasi. Langkah cepat Kejagung maah dianggap tidak wajar dan bahkan bernuansa tidak adil (unfair trial). Hendardi, aktivis senior dari SETARA Institut, misalnya, mengritik Kejagung karena menurutnya "(k)ecepatan waktu itu menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung tidak mengkaji secara cermat konstruksi peristiwa yang menimpa Ahok dan cenderung melempar bola panas itu secara cepat ke pengadilan". Ia membandingkan dengan bagaimana lembaga tsb memroses kasus-kasus pelanggaran HAM berat, yang "butuh waktu bertahun-tahun dan tidak pernah dituntaskan." Masih menurut Hendardi, "biasanya jaksa membutuhkan waktu setidaknya 14 hari untuk menyatakan P21 atas sebuah kasus."
Hemat saya, akselerasi proses kasus Ahok ini memang tak bisa dilepaskan dari tekanan politik yang sangat besar, baik dari dalam (internal) Pemerintah maupun dari luar. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa Pemerintah Jokowi (PJ) sejak kasus ini mencuat di ruang publik telah menyatakan akan mengupayakan proses hukum yang cepat, tanpa intervensi, dan profesional. Bukti yang sudah diketahui publik, baik di dalam maupun di luar negeri, adalah kinerja Bareskrim Polri pada tahap penyelidikan dan penyidikan sampai kepada penentuan Ahok sebagai tersangka. Kini bola ada di tangan Kejaksaan yg rupanya ingin agar prose peradilan segera digelar.
Kejaksaan, mungkin juga seperti Polri, tidak ingin dipersepsikan lamban terutama oleh pihak anti Ahok yang selain minta proses hukum dipercepat, tetapi juga menuntut penahanan Ahok. Dalam hal ini Kejagung bersikap sama dengan Polri, yakni tidak menahan sang petahana Pilkada DKI itu dengan alasan subyektif dan obyektif yg menjadi hak aparat penegak hukum. Tentu saja pihak anti Ahok tidak surut dengan tuntutan tsb, sehingga salah satu tuntutan yg disuarakan dalam gelar aksi 212 yg dimotori GNPF MUI adalah tindakan penahanan tsb. Tokoh GNPF, Habib Rizieq Syihab (HRS), dalam berbagai kesempatan pidato dan khutbahnya terus mengulang tuntutan tsb dan diikuti dengan upaya menemui pihak Kejagung. Bisa diperkirakan bahwa kemungkinan terjadi aksi demo pasca 212 cukup besar jika pihak Kejagung dan PN Jakut tetap dengan keputusan tidak ada penahanan thd mantan Bupati Belitung Timur tsb.
Dinamika kasus Ahok saat ini dan yang akan datang merupakan tes terhadap ketahanan dan konsistensi PJ dalam menyikapi kasus Ahok. Selain tekanan dari kelompok anti Ahok, kini ditambah lagi dengan kritik tajam dari pihak LSM dan komuntias pembela HAM. Yang disebut terakhir itu memiliki tujuan yang bertolak belakang dari yg pertama yaitu proses hukum yang fair thd Ahok karena adanya kekhawatiran bahwa Kejagung dapat "membahayakan due process of law dan (menjadi) preseden buruk penegakan hukum untuk kasus-kasus berdimensi politik." Bagaimana PJ akan mendayung diantara dua karang dengan selamat, adalah sebuah tantangan yang tak mudah. Namun tak ada jalan lain kecuali dengan gigih dan lincah mendayung biduk tsb selamat dari kemungkinan benturan besar yang berpotensi menghambat laju sang biduk dan terutama keselamatan para penumpangnya.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment