Monday, January 30, 2017

SIKAP INKLUSIF PEMIMPIN DALAM SISTEM DEMOKRASI

"Sebagai warga (negara bagian) New York, saya adalah seorang Muslim, seorang Yahudi, seorang kulit hitam, seorang gay, seorang penyandang cacad, seorang perempuan yang (sedang) memperjuangan hak utk mengatur kesehatan dan pilihan-2 hidupnya... Sebab sebagai seorang warga (negara bagian) New York, kita semua adalah satu komunitas, yaitu komunitas New York yang terdiri atas semua komponen kewargaan itu."

(Andrew Cuomo, Gubernur Negara Bagian New York, dalam sebuah konferensi pers menyikapi kebijakan Presiden Donald Trump terkait larangan masuk thd para migran dari negara-2 berpenduduk Muslim tertentu, 29 Januari 2017)

Di dalam sebuah Negara dengan sistem demokrasi, seorang pejabat publik, termasuk Gubernur di sebuah negara bagian dan/ atau sebuah propinsi, pada hakekatnya adalah seorang pemimpin yang merepresentasikan komunitas warganya dan warganegara secara keseluruhan. Ia bisa jadi berasal dari sebuah partai, etnis, kelompok agama, ras, dan identitas tertentu lainnya. Namun ketika menghadapi persoalan dasar yang terkait dengan hak-hak asasi warganya, ia harus melampaui identitas-2 tsb dan menjadi wakil komunitas kewargaan.

Sebaliknya, warganegara dan warga suatu masyarakat dalam setiap levelnya, di dalam konteks sistem demokrasi, juga seharusnya bersikap inklusif dalam memilih pemimpin. Politik identitas menjadi halangan yang sangat serius dalam membangun sebuah sistem politik demokratis. Tentu saja ada berbagai cara pandang yang berbeda-beda dalam masyarakat dan negara mengenai persoalan perlindungan hak-2 asasi manusia. Namun demikian pada akhirnya, sikap mengayomi dan melindungi pihak-2 yang marginal dan rentan terhadap diskriminasi, penindasan, dan ketidak adilan adalah paling utama baik bagi sang pemimpin maupun para warga semua.

Simak tautan ini:

http://newyork.cbslocal.com/2017/01/29/cuomo-travel-ban-hotline/

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS