Sunday, March 12, 2017

KORUPSI E-KTP: SEPERTI MENANGISI SUSU YANG TUMPAH

Presiden Jokokwi (PJ) mersa menjadi salah satu pihak yang dirugikan oleh skandal e-KTP yang kini sudah masuk dalam sidang pengadilan tipikor. Ini bukan hanya kerena besarnya jumlah uang negara yang ditilep para 'garong', yg terdiri atas aparat eksekutif, legislatif, dan pengusaha swasta serta orang-perorang itu, sampai bilangan trilyunan rupiah. Tetapi juga, dan tak kalah penting, implikasi rasuah tsb terhadap sistem pemerintahan. PJ memakai istilah dalam bahasa Jawa: 'bubrah' (rusak parah) untuk menggambarkan magnitude atau besaran kerusakan yg diakibatkan oleh skandal tsb.

PJ membuat daftar kerusakan sistemik yg diakibatkan oleh skandal ini. Termasuk, dan tak terbatas pada: 1) urusan paspor; 2) urusan SIM; 3) perpajakan; 4) urusan di perbankan; 5) Pilkada; 6) Pemilu, dan tentunya anda masih bisa memperpanjangnya lagi. Walhasil, seperti kata PJ: "sistem yang kita bangun ... sekarang menjadi bubrah (rusak) semua gara-gara anggarannya (e-KTP red.) dikorup."

Kekesalan sang Presiden tentu saja sangat masuk akal dan resonansinya sampai ke seluruh rakyat dan bahkan implikasinya pun dirasakan oleh neghar-negara yang mempunya urusan dengan Indonesia, khususnya bidang ekonomi, industri, perdaganagan, luar negeri, dll. Dengan kata lain skandal e-KTP adalah layak utk dikategorikan sebagai kejahatan besar dan sistemik karena berimplikasi kepada bubrahnya tatapemerintahan dan kinerja pemerintahan, selain juga kerugian material dan non material bagi negara dan rakyat Indonesia.

Kendati demikian, saya termasuk skeptis bahwa skandal yang membubrahkan kehidupan bangsa dan negara ini akan bisa dituntaskan dengan memuaskan atau sesuai rasa keadilan. Pasalnya, skandal-2 korupsi dg magnitude kerusakannya sudah sampai pada tingkat "Perang Bharatayudha" seperti e-KTP ini masih banyak. Sebut saja, tiga besar skandal: BLBI, Century-gate, dan Hambalang. Saya percaya dan optimis bhw KPK masih terus berusaha melakukan penyelidikan dan tidak akan menyerah. Tetapi saya juga cukup realistis utk tidak kaget bahwa kesemuanya itu tidak akan sampai pada penuntasan (closure) yang optimal. Mengapa? Jawabnya sederhana: politik.

KPK boleh saja menyatakan bahwa pihaknya akan mengesampingkan implikasi atau pengaruh politik dlm menyelesaikan kasus e-KTP. Saya setuju dan itu adalah sikap yang seharusnya. Namun mungkinkah aspek politik dikesampingkan dalam menghadapi skandal-2 korupsi raksasa? Hanya manusia yang naif saja yg bisa diselomoti oleh retorika seperti itu. Sebab setiap langkah bahkan ucapan pihak KPK atau aparat penegak hukum lainnya semuanya tak mungkin lepas dari pertimbangan politik. Hal itu bukan karena maunya KPK dan para pelaksanan di lembaga tsb, tetapi bisa saja karena tekanan pihak luar.

Lebih jauh, skandal e-KTP juga bisa menjadi bagian dari manuver politik dari kelompok-2 kepentingan tertentu utk melemahkan lawan. Kegaduhan politik yg akan ditimbulkan oleh skandal e-KTP (spt juga BLBI, Cntury, dan Hambalang) bisa menghantam semua parpol dan oknum-2 elite parpol, termasuk yg di Senayan. Apalagi jika benarinformasi yg beredar di ruang publik bahwa mereka yg konon diduga menerima rasuah itu berasal dari semua parpol!

Karenanya, kendati saya gembira bahwa PJ menyatakan bhw skandal e-KTP ini berdampak kerusakan sistemik, namun saya juga tidak akan terlalu berharap banyak. Jika KPK bisa mengembalikan sebagian besar uang negara yg digarong melalui proyek e-KTP, bagi saya sudah memadai. Akan halnya hukuman kepada parpol dan oknum-2nya yang terlibat, saya cuma bisa berharap KPK tetap membeberkan nama-2 mereka, kalaupun pada akhirnya akan sulit mengeksekusinya karena berhadapan dg tembok-2 politik yg besar dan tebal. Mungkin nanti 'hukuman' dari masyarakat Indonesia akan lebih efektif jika nama-2 tsb selalu muncul di media dan ruang publik sehingga mereka tidak lagi dianggap layak untuk muncul dalam panggung politik di Pusat dan/atau Daerah-2. Bukan tidak mungkin, parpol-2 yang menjadi sarang garong juga akan ditolak oleh rakyat.

Memang pandangan saya ini bisa dianggap minimalis atau bahkan pesimistis. Tapi seperti kata pepatah, 'tak ada gunanya menangisi susu yang sudah tumpah (there's no use crying over spilt milk). Yang masih ada saja yg dimanfaatkan seoptimal mungkin, sambil tetap mendukung, melindungi, dan mendorong KPK utk tetap menjadi lembaga mandiri, semakin berdaya, dan efektif di masa depan. Jangan sampai karena dikeroyok oleh kekuatan politik Kurawa ini, KPK yg notabene lembaga yg paling dipercaya dan dicintai rakyat Indonesia tsb malah terpuruk.

Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS