Monday, April 17, 2017

REFERENDUM TURKI: MENUJU OTORITERISME ATAU PENGUATAN DEMOKRASI?


Pada Sabtu 15 April 2017, Turki melaksanakan sebuah referendum nasional yang akan menentukan apakah sistem Pemerintahannya berubah dari sistem Parlementer menjadi sistem Presidensial. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (RTE), ternyata menyatakan bahwa hasil referendum yang digelar di negaranya telah menyetujui perubahan tsb sehingga akan menerapkan sistem Presidensial. Dengan perubahan ini, maka posisi Presiden tidak lagi hanya simbolik dan non partisan, tetapi akan menjadi efektif dan bisa berasal dari parpol.

Kendati Komisi Pemilihan Umum Turki masih menunggu 10 hari lagi untuk mengumumkan secara resmi hasil referendum tsb, tetapi media resmi milik Negara, Anadolu, merilis kabar bhw 99.8% dari kotak suara telah dihitung, dan hasilnya para pemilih yg mengatakan "ya" terhadap perubahan tsb berjumlah 51.4%. Pihak oposisi menyatakan penolakan terhadap hasil tsb dan menuntut penghitungan ulang. Alasan mereka, telah terjadi perubahan dalam cara pemilihan ketika proses sedang berjalan. Pihak penyelenggara referendum mengubah aturan yg sebelumnya hanya mengizinkan pemilih yg punya surat undangan memilih berstempel utk ikut menyoblos, ternyata kemudian memperbolehkan surat undangan tanpa stempel.

Terlepas dari kemungkinan adanya perselisihan di Pengadilan referendum nanti, kemenangan Erdogan ini sangat signifikan karena akan mempengaruhi konstelasi politik negeri yang mayoritas penduduknya Muslim di Eropa itu. Sejak 1932, Turki menganut sistem Parlementer kendati rezim yg berkuasa berganti-ganti dan tidak selalu demokratis. Bahkan sejak awal 90-an, negeri Aya Sophia tsb dikontrol oleh militer sampai kemudian muncul RTP yg diusung oleh partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) dan berkuasa sejak 2002 hingga hari ini. Partai yg dipengaruhi oleh gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) ini, menjanjikan demokratisasi dan pembangunan ekonomi. Sukses Erdogan dalam mendongkrak kemajuan ekonomi Turki membuat beliau sangat populer dan gagasannya merubah sistem Parmenter menjadi Presidensial pun mendapat dukungan luas.

Implikasi perubahan tsb sangat serius: Bukan saja Presiden akan memiliki kekuasaan yang riil dan luas sebagai Kepala Pemerintahan, tetapi juga memiliki kekuasaan mengangkat 5 orang dari 13 Hakim Konstitusi. Lebih jauh Presiden akan memiliki wewenang mengumumkan Dekrit-2 yang dapat digunakan utk melakukan perintah eksekutif yg sangat berdampak strategis. Perubahan substantif inilah yg membuat sebagian pihak di Barat menjadi gerah dan menjadikan Turki semakin akan sulit utk menjadi bagian dari Uni Eropa (EU). Di dalam negeri sendiri, perubahan ini tentu akan ditentang oleh parpol-2 konservatif dan nasionalis yang dekat dengan militer, kendatipun tidak secara terbuka! Demikian pula dengan kelompok separatis Kurdistan (PKK) yg akan semakin mengalami kesulitan dengan sistem baru ini.

Erdogan dan AKP tentu mempunyai rencana dan agenda politik ke depan yg akan mengubah konstelasi perpolitikan Turki dan pengaruhnya di kawasan Eropa, termasuk perannya dalam konflik-konflik di Timur Tengah. Turki kini memiliki hubungan baik dengan Rusia, Suriah, dan Irak, serta masih cukup dekat dengan AS dan negara-2 Eropa (walaupun ada berbagai ketegangan dg Jerman, Perancis, Belanda). Jika sistem Presidensial ini menjadikan Turki bergerak kepada otoriterisme kembali, tentu situasi kamnas negeri tsb akan terus memanas. Ini akan dimanfaatkan oleh kelompok radikal, baik jihadis maupun gerakan separatis, yg makin melemahkan stabilitas kamnas Turki, dan akan mengisolasinya dri pergaulan antar-bangsa di Eropa Barat dan AS.

Namun Erdogan juga bisa memanfaatkan perubahan sistem tsb utk menguatkan demokrasi, khususnya dalam konteks negara berpenduduk Muslim di Eropa. Bisa jadi Turki melihat pengalaman Indonesia yg juga menggunakan sistem Presidensial yg kompatibel dengan demokrasi konstitusional. Indonesia jauh lebih kompleks dalam hal demografi dan geografi ketimbang Turki. Indonesia juga masih berjuang meningkatkan kemajuan ekonomi dan industri serta Iptek. Kalau Indonesia, yg berpenduduk 250 juta jiwa dan mayoritas Muslim bisa berdemokrasi, kenapa Turki yg "hanya" 74,93 juta tidak?
Simak tautan ini:

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS