Hari-hari ini bangsa Indonesia dan NKRI sedang menyaksikan dua lembaga legislatif hasil reformasi 1998 mengalami erosi dan degradasi marwah yang habis-habisan. Pertama, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kini sedang dilanda krisis marwah, karena terjadinya dualisme rebutan kepemimpinan, yang belum pernah terjadi sebelumnya, walaupun MA telah mengambil sumpah Ketua baru, Oesman Sapta Odang (OSO). Keributan ini terjadi menyusul tertangkap tangannya mantan Ketua DPD, Irman Gusman (IG), oleh KPK karena terlibat tipikor, suatu peristiwa yang juga mencoreng marwah lembaga tinggi negara tsb.
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), untuk kesekian kalinya menghadapi krisis marwah karena Ketuanya, Setya Novanto (SN), sedang menghadapi pemeriksaan KPK karena adanya kasus tipikor e-KTP. Ketua DPR, yang juga Ketum DPP Golkar itu, sebelumnya malah sempat mundur dari posisinya karena skandal 'Papa Minta Saham', tetapi kemudian direhabilitasi pasca-putusan MA. Krisis marwah DPR juga terjadi karena beberapa anggota dan mantan anggotanya kini sedang menghadapi proses peradilan dalam kasus e-KTP yg telah merugikan Negara lebih dari Rp 2 triliun rupiah itu. Ini belum lagi kasus-kasus tipikor lainnya yang telah dan sedang dihadapi oleh para wakil rakyat tsb pasca-reformasi.
Karena itulah saya kira sah jika rakyat Indonesia mempertanyakan legitimasi dari kedua lembaga legislatif yang seharusnya menjadi salah satu soko guru Reformasi. Jika krisis kepemimpinan kedua lembaga itu terus terjadi yang salah satu dampaknya adalah menggerogoti dan menghancurkan marwah keduanya, apakah masih layak utk dianggap sebagai lembaga tinggi negara yg kredibel? Lebih jauh, jika dirunut lebih jauh bahwa mereka-2 yang merusak marwah tersebut adalah para politisi (termasuk petinggi parpol-2), bukankah ini berarti juga telah terjadi sebuah proses pembusukan terhadap sistem partai politik? Sebab, suka ata tidak, faktanya DPD pun kini dihuni oleh orang-orang parpol, bukan hanya orang-orang non partai saja!
Pertanyaannya, apakah krisis di dua lembaga legislatif ini muncul karena pelaksanaan demokrasi yang kebablasan? Ataukah karena para penyelenggara negara di lembaga-2 tsb gagal melaksanakan demokrasi secara murni dan konsekuen sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi UUD 1945, di era pasca-Reformasi? Hemat saya, alasan kedualah yg lebih masuk akal. Sebab jika pelaksanaan demokrasi yg kebablasan dituding sebagai alasan terjadinya delegitimasi politik dan moral kedua lembaga tinggi negara tsb, maka fakta menunjukkan bahwa para penghuni Senayan tsb belum melaksanakan demokrasi sepenuhnya, tetapi hanya "semaunya'. Mereka hanya melaksanakan demokrasi semu, yakni prosedural belaka, itupun cenderung tidak secara konsisten. Munculnya aksi rebut-2an posisi pimpinan dan korupsi berjamaah serta berbagai skandal politik lainnya (pork barrel politics, misalnya), adalah bukti kongkrit bahwa demokrasi substansial belum mereka laksanakan secara serius!
Jadi bukan pelaksanaan demokrasi yg kebebalsan yg seharusnya dituding sebagai sebab, tetapi karena para pelaksananya yang sontoloyo dan malah melakukan distorsi thd sistem demokrasi. Lebih-lebih dengan adanya fakta krisis kepemimpinan DPD dan DPR ini, sulit utk membantah bahwa kesontoloyoan tsb dilakukan terutama pada level kepemimpinan. Rakyat bisa saja curiga apakah mereka ini sengaja utk menghancurkan sistem demokrasi secara sitematis dan struktural?
Kecurigaan tsb bukan tanpa alasan. Sebab sampai saat ini, setelah 19 th reformasi bergulir, TIDAK PERNAH terjadi reformasi yang fundamental thd parpol. Kendati UU Parpol dan UU Pemilu serta UU MD3 berubah nyaris setiap 5 tahun, tetapi mereka tetap tidak pernah menyentuh inti persoalan, yakni bagaimana membangun parpol yang benar-nbenar mampu menjadi pendukung sistem demokrasi konstitusional menurut UUD 1945. Bahkan jika dibandingkan dgTNI dan Polri, yg sudah melakukan reformasi fundamental dalam paradigma dan tupoksi mereka, parpol sama sekali bergeming dri keharusan tsb.
Maka proses pembusukan di DPD dan DPR akan terus berlanjut dan terjadi dari atas ke bawah. Selama tidak terjadi reformasi fundamental thd parpol, maka pelaksanaan sistem demokrasi di negeri ini akan semakin kacau dan penuh dengan anomali serta regresi. Sekali lagi bukan karena pelaksanaan demokrasi yg kebablasan, tetapi karena para pelaksananya yg tidak berkualitas dan salah satu sumbernya adalah karena sistem parpol yg tidak kompatibel dengan demokrasi konstitusional. Bagi mereka yg sering menyalahkan kemerosotan ini pada pelaksanaan demokrasi yg kebablasan, saya katakan: "Bertanyalah pada diri Anda, apakah Anda sudah melaksanakan Konsitusi secara konsekuen atau hanya 'lip service' saja?" Shame on You!
0 comments:
Post a Comment