Dialektika hubungan antara manusia sebagai ciptaan dengan sang Pencipta adalah sebuah hubungan yang utuh, namun juga merupakan proses yang memerlukan pembuktian. Hubungan itu tidak hanya bersifat abstrak dan tanpa memerlukan usaha. Benar bahwa manusia adalah ciptaanNya, sehingga bisa dimaknai bahwa apapun yang dilakukan manusia adalah juga merupakan bagian dari ciptaan tersebut. Namun hal itu bukan berarti manusia tak memiliki kemandirian yang relatif (relative autonomy), karena manusia juga diberi nalar dan nurani untuk memahami dan memilih serta mengambil keputusan.
Kemandirian relatif yang dipunyai dan sekaligus menjadi salah satu hakikat kemanusiaan itu sangat menentukan dialektika hubungan antara Tuhan dan manusia. Apakah manusia akan memanfaatkannya secara optimal di dalam batas-batas yang sudah ditentukan atau menyia-nyiakannya. Termasuk di dalam kesia-siaan itu adalah ketika manusia menganggap dirinya memiliki kemandirian total dan mengingkari keterbatasannya, bahkan mengingkari kuasa sang Pencipta.
Namun penyia-nyiaan juga bisa terjadi ketika manusia tidak mau memanfaatkan kemandirian relatifnya yang dia miliki. Alih-alih bekerja keras, ia hanya menyerah karena menganggap semuanya sudah ditentukan oleh sang Pencipta. Sikap seperti ini, kendati mungkin secara hakiki benar, tetapi tidak sesuai dengan dialektika hubungan manusia dengan Tuhannya. Sebab Tuhan tetap mewajibkan manusia untuk berikhtiar.
Itulah makna dari ungkapan As-Sakandary bahwa permintaan terbaik kepada Allah adalah yang menjadi tuntutannya. Manusia dituntut untuk menjalankan kehidupan secara mandiri dan berikhtiar. Jika manusia ingin mendekat kepadaNya, meraih "manunggaling kawulo lan Gusti," maka salah satu langkah penting adalah mengoptimalkan kapasitasnya di dunia melalui usaha, kerja, dan kreasinya.
0 comments:
Post a Comment