Pada Minggu malam, 2/6/17, saya mengikuti acara "Review Akhir Pekan" di CNN-TV bersama Bambang Harimurti, jurnalis senior dari Majalah Tempo. Temanya adalah 1. Pertemuan antara GNPF-MUI, dan 2. Kunjungan mantan Presiden AS ke 44, Barack Obama, ke Indonesia. Sedianya akan ada tema ke 3, yaitu maraknya aksi teror dengan target para anggota Polri, namun tema ini urung dibahas karena keterbatasan waktu.
Dalam dialog tsb, masalah yang disoroti terutama adalah dinamika pasca-pertemuan Halal Bi Halal antara GNPF-MUI dengan PJ dan bagaimana prospek dari gagasan "rekonsiliasi," yang sempat dilontarkan pihak yang disebut pertama itu, namun dalam perkembangannya menjadi kontroversi baru setelah Amien Rais (AR) menolak gagasan tsb, sedangkan Habib Rizieq (HRS) mendukungnya dengan catatan dan persyaratan-persyaratan. Pihak GNPF MUI yang diwakili oleh Bachtiar Nasir (BN) belakangan juga membuat berbagai pernyataan yang isinya cenderung kontradiktif satu sama lain.
Saya melihat bhw dinamika pasca-pertemuan di Istana itu justru menunjukkan ketidaksolidan pihak GNPF, dan bahkan menurut Bambang Harimurti, terjadi perpecahan di dalam kubu tsb. Ada pihak HRS yg di Arab Saudi, ada BN yg ingin rekonsiliasi, dan ada AR yang menolak. Dengan kondisi ini maka PJ memilih "wait and see" agar jelas sikap mereka. Hemat saya, strategi PJ ini sudah tepat karena jika direspon terlalu cepat dan tanpa kejelasan, malah akan membuka masalah baru. Apalagi jika ajakan rekonsiliasi itu bemuatan kompromi terkait berbagai persoalan hukum yang sedang dihadapi HRS, Al-Khattath, dan BN sendiri.
Sikap paling ideal yang bisa diambil PJ adalah menyambut positif ajakan rekonsiliasi, namun TANPA menggunakan kompromi dalam proses hukum. Hal ini konsisten dengan sikap beliau selama ini dalam kasus Ahok yang diselesaikan melalui proses hukum secara tuntas, transparan, dan profesional. Jika PJ tidak mengambil sikap kompromistis, malah bisa terjadi pukulan balik politik (political backlash) yang sangat merugikan beliau. Para pendukung, simpatisan PJ, dan juga aparat hukum yang selama ini bekerja keras dalam penegakan hukum dipastikan akan kecewa dengan rekonsiliasi yang mengorbankan proses hukum.
PJ telah menunjukkan kemauan baik utk mendengarkan dan menanggapi positif, tetapi dengan tetap berhati-hati, terhadap inisiatif GNPF-MUI. Sebaliknya pihak GNPF-MUI sendirilah yang kini menghadapi persoalan soliditas karena terbagi dalam tiga kubu di dalamnya. Bahkan HRS, yang menganggap BN dkk tidak berhianat dengan melakukan pertemuan di Istana itu, pun masih bicara tentang pilihan "Rekonsiliasi atau Revolusi" terhadap PJ dan Pemerintah. Sikap HRS tersebut justru kontraproduktif sebab tidak konsisten dengan gagasan dan ajakan rekonsiliasi yang intinya adalah semangat "saling percaya" (mutual trust) untuk mencari solusi yang diterima pihak-pihak yang berkonflik. Bukan melalui tekanan, apalagi ancaman.
Simak Video di bawah ini:
Dalam dialog tsb, masalah yang disoroti terutama adalah dinamika pasca-pertemuan Halal Bi Halal antara GNPF-MUI dengan PJ dan bagaimana prospek dari gagasan "rekonsiliasi," yang sempat dilontarkan pihak yang disebut pertama itu, namun dalam perkembangannya menjadi kontroversi baru setelah Amien Rais (AR) menolak gagasan tsb, sedangkan Habib Rizieq (HRS) mendukungnya dengan catatan dan persyaratan-persyaratan. Pihak GNPF MUI yang diwakili oleh Bachtiar Nasir (BN) belakangan juga membuat berbagai pernyataan yang isinya cenderung kontradiktif satu sama lain.
Saya melihat bhw dinamika pasca-pertemuan di Istana itu justru menunjukkan ketidaksolidan pihak GNPF, dan bahkan menurut Bambang Harimurti, terjadi perpecahan di dalam kubu tsb. Ada pihak HRS yg di Arab Saudi, ada BN yg ingin rekonsiliasi, dan ada AR yang menolak. Dengan kondisi ini maka PJ memilih "wait and see" agar jelas sikap mereka. Hemat saya, strategi PJ ini sudah tepat karena jika direspon terlalu cepat dan tanpa kejelasan, malah akan membuka masalah baru. Apalagi jika ajakan rekonsiliasi itu bemuatan kompromi terkait berbagai persoalan hukum yang sedang dihadapi HRS, Al-Khattath, dan BN sendiri.
Sikap paling ideal yang bisa diambil PJ adalah menyambut positif ajakan rekonsiliasi, namun TANPA menggunakan kompromi dalam proses hukum. Hal ini konsisten dengan sikap beliau selama ini dalam kasus Ahok yang diselesaikan melalui proses hukum secara tuntas, transparan, dan profesional. Jika PJ tidak mengambil sikap kompromistis, malah bisa terjadi pukulan balik politik (political backlash) yang sangat merugikan beliau. Para pendukung, simpatisan PJ, dan juga aparat hukum yang selama ini bekerja keras dalam penegakan hukum dipastikan akan kecewa dengan rekonsiliasi yang mengorbankan proses hukum.
PJ telah menunjukkan kemauan baik utk mendengarkan dan menanggapi positif, tetapi dengan tetap berhati-hati, terhadap inisiatif GNPF-MUI. Sebaliknya pihak GNPF-MUI sendirilah yang kini menghadapi persoalan soliditas karena terbagi dalam tiga kubu di dalamnya. Bahkan HRS, yang menganggap BN dkk tidak berhianat dengan melakukan pertemuan di Istana itu, pun masih bicara tentang pilihan "Rekonsiliasi atau Revolusi" terhadap PJ dan Pemerintah. Sikap HRS tersebut justru kontraproduktif sebab tidak konsisten dengan gagasan dan ajakan rekonsiliasi yang intinya adalah semangat "saling percaya" (mutual trust) untuk mencari solusi yang diterima pihak-pihak yang berkonflik. Bukan melalui tekanan, apalagi ancaman.
Simak Video di bawah ini:
0 comments:
Post a Comment