Dinamika perpolitikan nasional diramaikan dengan politik 'banting setir' yang dilakukan oleh Perindo, partai besutan Taipan Hari Tanoe (HT). Partai yang dikenal kritis terhadap Pemerintahan PJ, mendukung kubu lawan Ahok dalam Pilkada DKI 2017, dan yang selama ini "mesra" dengan parpol-parpol oposisi seperti Gerindra, PD, dan bahkan PKS, tiba-tiba menyatakan akan mendukung Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019.
Hemat saya, jika dilihat dari tabiat parpol di dalam perpolitikan Indonesia, perubahan sikap tsb tidak perlu dianggap mengagetkan. Hal demikian hanyalah taktik dan laku politik pragmatis biasa saja. Apalagi jika diperhatikan dengan cermat bahwa Perindo adalah partia yang belum resmi menjadi peserta Pileg, apalagi punya kans untuk mengajukan capres/cawapres. Partai ini juga ukurannya masih "minimalis" kendati kiprahnya sudah sangat dikenal karena eskpose media dan, tentu saja, langkah-langkah TN yang, beberapa tahun terakhir ini, bolak-balik pindah partai: Nasdem, Hanura, kini Perindo.
Langkah pindah dukungan kepada PJ adalah sebuah taktik tipikal pemilik modal yang mencari mana kekuatan politik yang paling menguntungkan bagi kepentingan survival dan pengembangan bisnis. Inilah contoh terbaik dari praktik oligarki yang terburuk. Tidak ada sesuatu yang lebih penting ketimbang tujuan memertahankan kepentingan bisnis dan politik juga tak lebih hanyalah salah satu instrumen bagi keperluan tsb. Langkah ini bisa dikatakan diambil langsung dari 'playbook' politik filsuf Machiavelli, The Prince.
Jika dilihat dari perspektif di atas, maka sangtlah logis bagi Perindo untuk mendukung sang petahana pada 2019. Bukan hanya karena HT sedang dirundung masalah hukum saja, tetapi lebih karena alasan kepentingan yang lebih besar: keberlangsungan dan keberlanjutan akses terhadap kekuasaan. Perindo akan lebih secure, secara politik, jika berada dalam kubu PJ ketimbang mendukung kubu Cikeas yang masih belum kokoh. Sebagai trade off, kubu PJ tentu akan mendapat 'keuntungan' dengan hadirnya sang Taipan. Setidaknya, ada 4 hal yang bisa menjadi kontribusi HT dan Perindo dalam Pilpres 2019:
1) Sumber dana yang kuat dari konglomerasi HT
2) Jejaring media nasional dan internasional
3) Jejaring akses politik dan bisnis internasional HT
4) Kedekatan HT dengan kekuatan organisasi dan tokoh-tokoh
masyarakat sipil, khususnya kelompok Islam
Karena itu, "barter politik" antara pendukung PJ dengan Perindo adalah sesuatu yang secara logika pragmatisme saling menguntungkan. Hanya saja, bagi saya, hal ini juga menjadi petunjuk tentang makin melencengnya praktik politik elite kita dari prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Sebab alih-alih terjadi proses politik yang semakin berjiwa kedaulatan rakyat, yang terjadi adalah penguatan dan pengokohan oligarki.
Walhasil, politik "banting setir" Perindo memang menguntungkan dalam jangka pendek bagi elite politik dan parpol-parpol pendukung petahana, tetapi belum tentu menguntungkan dalam jangka panjang bagi proses dan substansi konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca-reformasi.
Silakan simak dan komentari wawancara lewat Skype ini:
0 comments:
Post a Comment