Friday, June 8, 2018

BUKA BERSAMA DENGAN KIROYAN PARTNERS: "SPIRITUALITAS & RELIGIOSITAS"


Semalam (7Juni 2018), bertempat di Hotel Gran Melia, Kuningan, Jakarta, saya ikut acara Bukber tahunan yg diselenggarakan oleh Kiroyan Partners (KP), sebuah perusahaan konsultan komunikasi publik di mana saya menjadi salah seorang senior advisornya.

Seperti tahun2 sebelumnya, saya mendapat tugas memberikan "tausiyah" dalam acara itu, walaupun jelas saya bukan Ustadz, apalagi Kyai. Karena sudah lebih dari 10 th berturut turut jadi langganan, saya bilang anggap saja ini semacam "Unofficial Annual Religious Lecture" di KP oleh AS Hikam, hehehe..

Tema tahun ini saya ambil dari Surat Ali Imran 190 yang biasanya ditafsirkan para pakar sebagai ayat2 yang menunjukkan bhw para ulil albab (mereka yg tercerahkan nalar & nuraninya) senantiasa berdzikir dan berfikir tentang keagungan Allah swt melalui ciptaan-ciptaanNya berupa langit, bumi dan segala isinya.

Saya menambahkan tafisr ayat ini dengan mengaitkan antara spiritualitas dengan religiositas atau keberagamaan ummat manusia, khususnya ummat Islam. Demikian pula saya mengingatkan bahwa memahami firman Tuhan dan beragama tak bisa lepas dr historisitas kita sebagai manusia. Akan lebih indah dan bernakna apabila keberagamaan kita berorientasi ke masa depan, bukan ke belakang. Sehingga dalam berfikir atau berkiprah dalam keilmuan pun tidak ada keraguan utk mencari dan memajukan ilmu seluas-luasnya. Sebab pada hakikatnya, secara spiritual ilmu Allah swt adalah tak terhingga. Sehabat apapun ilmu dan kemampuan yg berhasil dicapai mahluqNya tetap tidak akan bisa menyaingi (apalagi melebihi) ilmuNya.

Jika spiritualitas menjadi perspektif dlam keberagamaan seperti itu, maka sikap dan laku beragama akan lebih santun, ramah dan nguwongke. Bisa saja dua orang berbeda agama mereka, namun bisa bekerjasama karena ada kesamaan dalam landasan spiritualitas. Misalnya spiritualitas yang menempatkan etika tanggungjawab, kasih sayang, dan toleransi serta kemanusiaan.

Banyak contoh dari kemampuan seperti itu. Saya menggunakan pengalaman para pendahulu kita seperti alm. Romo Mangunwijaya, Gus Dur, Ibu Gedong Bagus Oka, Johan Efendi dll yang berbeda agama tetapi menjadi kekuatan utuh dalam perjuangan membela Hak asasi, pluralisme, demokrasi, dan toleransi. Salah satu penjelasannya mengapa beliau-beliau bisa demikian adalah karena mereka share spiritualitas etik yang sama: memuliakan manusia sebagai mahluk Tuhan.

Semoga perenungan ini bermanfaat bagi kehidupan bangsa yang sedang mengalami krisis saat ini. Keberagamaan kita harus dilandasi dg spiritualitas agar memunculan sikap dan laku beragama yg ramah bukan yg mudah marah. Amin.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS