Monday, August 20, 2018

MENAKAR GOLPUT AHOKERS DALAM PILPRES 2019



Kekhawatiran sementara pihak bahwa para pendukung mantan Gubermur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, atau yg disebut dg "Ahokers", akan menjadi Golput yang mengurangi perolehan suara petahana, patut untuk dicermati. Hal ini merupakan salah satu implikasi dari terpilihnya KH. Ma'ruf Amin (MA), Ketua MUI dan juga Rais Aam PBNU, sebagai cawapres petahana Presiden Jokowi (PJ) pada 9 Agustus 2018 lalu.

Seperti diketahui, MA adalah sosok yang menjadi salah satu ikon dalam kasus pidana penghinaan agama yang menimpa Ahok pada 2017, yang bukan saja berujung pada vonis penjara 2 th kepada sang Gubernur, tetapi juga berkontribusi sangat signfikan terhadap kekalahan beliau dalam Pilkada 2017 melawan paslon Anies Baswedan (AB) dan Sandiaga Uno (SU).

Terpilihnya MA sebagai cawapres, bukan saja mengejutkan tetapi sekaligus juga menimbulkan kontroversi: apakah pilihan PJ, yang notabebene adalah sosok yang sangat dekat dg Ahok, merupakan perubahan paradigmatik yang sangat mendalam? Bahkan bagi para Ahokers yang memiliki idealisme membangun demokrasi yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945, pilihan PJ tsb dianggap sebagai sebuah "U-turn" (putaran) politik yang terjadi karena tekanan parpol demi kepentingan mereka sendiri dalam rangka mengantisipasi Pilpres 2014.

Itulah sebabnya ketika kemudian wacana golput para Ahokers itu muncul di ruang publik, hal tersebut segera mendapat respon yang bermacam-macam, mulai dari anggapan bahwa wacana tsb hanya merupakan reaksi psikologis spontan akibat kekagetan dan/ atau keterkejutan (shock) sementara, sampai pada anggapan bahwa wacana tsb benar-benar akan memiliki resonansi elektoral berupa tergerusnya suara PJ dalam Pilpres 2019.

Saya termasuk pengamat yang tidak menyepelekan dampak golputnya para Ahokers, bukan saja terhadap elektoral tetapi juga proses konsolidasi demokrasi di negeri ini yang, meminjam istilah Buya Syafii Maarif, masih dalam kondisi 'terseok-seok.' Benar bahwa ada kemungkinan keterkejutan para Ahokers ini hanya gejala sementara, namun hemat saya apabila petahana tidak melakukan manajemen politik yang efektif, isu ini bisa menjadi bola liar. Ia bisa saja menyebabkan golput para Ahokers marak dan, bahkan, bisa juga mendorong perpindahan pilihan kepada paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (PS-SU).

Karenanya, dalam konteks pemenangan Pilpres 2019 dari petahana, pemetaan yang jelas terhadap simpul-simpul Ahokers sangat perlu dilakukan untuk mengetahui pengelompokan mereka. Demikian pula pendekatan yang ditujukan untuk mempertahankan dan, jika perlu, menarik kembali dukungan terhadap petahana.

Penting kiranya untuk melakukan upaya rekonsiliasi terhadap MA dengan Ahok sehingga pihak yang disebut terakhir itu dapat bekerjasama dalam mendukung PJ baik pada sebelum, selama, maupun setelah Pilpres. Kebersamaan antara kedua tokoh tsb akan dilihat para pendukungnya sebagai pertanda telah terjadi kesalingpahaman atau kekompakan.

Golputers bukan hanya bisa muncul dari pendukung Ahok saja, tetapi juga mereka yang mendukung Mahfud MD (MMD), yang menamakan diri sebagi Golongan Mahfud (Golfud). Ada kabar, suara mereka akan diberikan hanya dalam Pileg khususnya untuk PSI tetapi tidak ikut memilih dalam Capres. Baik Golput asal Ahokers maupun Golfud, bisa saja hanya fenomena sementara tetapi bisa juga akan menguat jelang Pilpres.

Walaupun suara mereka tidak besar namun tetap memiliki pengaruh elektoral dan, seyogyanya, perlu diperhitungkan. Apalagi jika hasil Pemilu 2014 dijadikan sebagai "benchmark", yakni selisih kemenangan PJ vs PS yg hanya 6%. Walaupun dalam berbagai suvei sampai saat ini elektabilitas PJ jauh meninggalkan PS (10-20%), namun bisa saja terjadi perubahan selama beberapa bulan ke depan.

Simak rekaman video ini:


Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS