Tuesday, March 5, 2019

KEPUTUSAN MUNAS NU & PANDANGAN SEORANG ROMO KATOLIK

Pagi ini saya mendapat kiriman di inbox messenger dari salah seorang sahabat FB. Beliau seorang Romo Gereja Katolik, yang namanya tidak saya muat agar lebih nyaman. Saya sudah izin beliau utk share (dg editing typo seperlunya).
Silakan di simak, karena menurut saya pandangan beliau ini menarik dan penting. Jika anda berkenan, silakan dikomentari. Trims (MASH)
===================

Bapak Prof AS. Hikam terkasih.

Saya menulis catatan kecil di FB saya tentang (istilah) KAFIR.
Saya ingin diberi pencerahan ttg hal berikut ini.
Kalau kata "Muslim" itu artinya berserah diri (seperti itulah yang saya sering dengar) dan Islam adalah nama agama, maka sebutan untuk kami lebih pas lagi Non Islam ya....
Bagaimanapun saya sambut baik usulan NU untuk tidak memakai kata Kafir bagi kami terutama di ruang publik.
Salam hormat dan kasih,
Rm....

Berikut catatan kecil di FB saya:

KAFIR: sebuah catatan kecil

Ketika Jesus berbicara mengenai aturan aturan, Dia mewanti wanti supaya tidak menyebut saudaranya kafir, "... siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama." (Mat 5:22)

Atas dasar hal di atas, Gereja Katolik (semakin) tidak mempergunakan kata itu dalam pengajaranya. Apalagi ditambah dengan semangat penghargaan terhadap agama agama dan budaya lain seperti yang diajarkan oleh Vatikan II (Nostra Aetate) Gereja semakin positif memandang saudara saudari yang tidak termasuk dalam keanggotaan Gereja Katolik. Oleh karena itu memang (semakin) tidak ada dalam benak Gereja (Umat Allah) penghayatan dan penyebutan orang di luar gereja sebagai Kafir. Konsep yang pernah ada itu semakin ditinggalkan.

Tentu saya bersyukur bahwa NU telah mengusulkan untuk tidak menggunakan kata kafir untuk para pemeluk agama agama lain, selain agama Islam. Walaupun bagi sebagian besar umat Katolik kiranya tidak terlalu mempermasalahkan penyebutan itu (karena imannya tidak terpengaruh oleh penyebutan itu), toh gagasan dan gerakan NU ini patut disambut secara potitif, terutama untuk membuat relasi kita sebagai rakyat (warga bangsa bersama) semakin baik.

Namun teman teman NU masih melangkah lebih jauh sebab kiranya banyak tokoh tokoh NU yang menyadari bahwa penggunaan istilah kafir, mengandung "kekerasan Theologis." Teman trman NU mengusulkan dengan istilah "Non Muslim" yang sebenarnya sudah sering digunakan dalam hidup sehqri hari.

Kepada teman teman NU saya mau berterimakasih. Dan selamat mengadakan diskursus Theologi dan sosiologis lanjutan tentang hal di atas.

Terhadap para murid dan pendengarnya Jesus pernah sangat keras mewanti wanti untuk tidak mempergunakan kata itu (kafir) karena yg menggunakan pantas dibawa ke mahkamah agama.
Salam hormat,

Rm...
========================
Jawaban dari saya (MASH):

Trims Romo.

Karena saya bukan pakar ilmu agama atau teologi, saya melihat keputusan Munas NU itu lebih sebagai upaya meneruskan pembangunan bangsa dan NKRI dg semakin melunturkan sekat2 artifisial bikinan interpretasi ajaran agama.

Jika kita sudah sepakat utk bernegara dg menggunakan landasan nation-state dan kewarganegaraan, maka kita harusnya konsisten. Yaitu dlm wacana dan praksis ketatanegaraan dan bermasyarakat di ruang publik, hendaknya kewarganegaraan yg menjadi IDENTITAS, bukan lagi identitas primordial.
Tentu saja kalau dlm wacana teologis dan privat, kata kafir kan sudah ada.

Namun demikian maknanya juga bervariasi, tidak hanya bermakna "orang yg bukan dalam komunitas keimanan yg sama". Kafir juga bermakna orang2 yg menistakan nikmat Tuhan, orang yg tak mau bersyukur dll.

Jadi keputusan NU adlh semacam evolusi pemahaman terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara sejak 1936, 1945 , 1950, 1983, 2015, dan 2019. Semakin ke sini semakin menunjukkan kematangan dalam pandangan yg inklusif.

Pendekatan NU memang gradualis, inklusif, dan integratif, bukan revolusioner dan isolasionis, atau eksklusif. Semoga cara ini sesuai dg dinamika bangsa, masyarakat, dan NKRI.

Suwun Romo.
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS