Presiden AS, Donald J. Trump, boleh saja disebut sebagai sosok paling berkuasa di negara adidaya tsb, tapi toh hari-hari ini dia sedang dirundung rasa "TAKUT" terhadap 3 kata ini: QUID PRO QUO (QPQ). Kalau di Indonesiakan, kata2 tsb secara harfiah berarti: "(Memberi) INI MENDAPAT ITU".
Dalam konteks politik AS kekinian, 3 kata itu bermakna sangat strategis. Sebab ia terkait dengan kebijakan Trump meminta Presiden Ukraina, V. Zelensky, melakukan penyelidikan terhadap anak mantan Wapres Joe Biden, yaitu Hunter Biden, terkait tuduhan tipikor saat menjadi penasihat perusahaan di negara Eropa tsb. Bagi Trump, yang sedang menghadapi Pilpres tahun depan, soal penyelidikan tipikor terhadap anak Joe Biden itu bermakna strategis dan taktis. Jika membuahkan hasil, tak pelak lagi Trump akan punya "senjata" kampanye pilpres yang ampuh ketika menghadapi salah satu calon terkuat capres dari Partai Demokrat tsb.
Bagi Partai Demokrat, jika Ukraina-gate itu terbukti, maka Trump bisa didakwa telah melakukan kesalahan serius yang bisa dijatuhi sanksi pemakzulan (impeachment) dari posisi Presiden. Sebab Trump konon pernah mengatakan bahwa jika V. Zelensky tak melakukan permintaannya maka bantuan militer, yang notabene sudah disetujui Konggres AS itu, tak akan dilaksanakan. Tindakan Trump seperti itu sudah masuk dalam kategori perbuatan penyuapan (bribery) dan/ atau penyalahgunaan kekuasaan. Penyuapan disebut dalam Konstitusi AS sebagai salah satu alasan pemakzulan para pejabat di negara, termasuk Presiden!.
Tudingan adanya praktik "quid pro quo" itu kini jadi fokus penyelidikan untuk pemakzulan Trump di Konggres (DPR AS) yang dikuasai oleh Partai Demokrat. Ukraina-gate ini juga menjadi tambahan dari kasus-kasus sebelumnya, seperti tudingan kolusi dengan Rusia untuk mengalahkan capres Demokrat pada Pilpres 2016, Hillary Clinton, yg pernah diselidiki oleh mantan Kepala FBI, Robert Muller. Sampai beberapa bulan terakhir ini, posisi Trump dan partai Republik, yang tentu sangat loyal membelanya, cenderung berada di bawah angin. Sialnya, para saksi yang dihadirkan di dalam dengar pendapat di Konggres, termasuk dua saksi yang diusulkan sendiri oleh kubu Partai Republik, cenderung menguatkan dugaan QPQ/Ukraina-gate tsb.
Pada akhirnya, Senat AS yang nanti akan menentukan apakah pemakzulan Trump terjadi atau gagal. Dari segi kekuatan kursi, Partai Republik masih unggul jumlahnya di Senat AS. Jika ingin menang dalam voting, hitung-hitungannya Partai Demokrat perlu setidaknya 20 suara tambahan. Sesuatu hil yang mustahal saat ini. Tetapi opini publik AS yang pro pemakzulan thd Presiden AS ke 45 itu, sebaliknya, menunjukkan tren naik. Politik selalu dinamis, dan di AS tak terkecuali. Bisa saja dialektika anbtara kekuatan elektoral di Senat dan opini publik akan menghasilkan perubahan yang signifikan.
Jika Trump berhasil dimakzulkan, maka ia adalah Presiden pertama yang akan turun karena upaya politik tsb. Sebelumnya, tiga kali upaya pemakzulan thd Presiden AS, selama 200 th lebih sejarah negeri Paman Sam tsb, tak berhasil. Presiden-presiden Andrew Johnson, Richard Nixon, dan Bill Clinton, mengalami upaya pemakzulan dan sampai di level Senat. Hanya saja Nixon mundur dari kursi Presiden AS sebelum Senat memutuskan.
Demokrasi selalu menuntut adanya legitimasi dan akuntabilitas publik, baik legal, politik, maupun etik. Demokrasi yg matang menggunakan jalur hukum secara terbuka dan tak harus hingar bingar, apalagi pemaksaan dengan kekerasan, dalam menuntut akuntabilitas tsb.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment