Wednesday, June 16, 2021

MENYAMBUNG HATI DI NEGERI SALMAN AL FARISI


Oleh Muhammad Baagil
(
embaagil@gmail.com)

Saya tuliskan artikel ini semata-mata karena dorongan keinginan saya untuk berbagi pengalaman dengan anak-anak bangsa di negeri kami tercinta, Indonesia, dan menggugah mereka yang memiliki peran dalam mengambil kebijakan dalam pemerintahan.

Hari itu kami memasuki sebuah ruangan cukup besar. Didalamnya ada beberapa dokter duduk di kursi mengeliling dengan meja-meja yang ditata membentuk huruf U. Di depan mereka terpampang layar dengan proyektor yang menampilkan hasil MRI, Sonography dan CTScan secara berulang-ulang yang diambil dari pasien dan putrinya yang merupakan pendonor. Sang Dokter ketua mengernyitkan dahi sejenak lalu berbicara dalam bahasa asing yang tidak kami pahami. Lima menit kemudian kami disuruh keluar.

Kami kira rencana kami gagal. Kami datangi ketua koordinator dokter dan ternyata kami salah, dokter ternyata menyetujui untuk melakukan transplantasi hati untuk kakak saya yang berusia 47 tahun dan pendonor hati adalah anak perempuannya yang berusia 22 tahun. Sang dokter memutuskan, transplantasi dilakukan tanggal 31 Mei 2021 pukul 9 pagi, 9 hari setelah kedatangan kami di negeri para Mullah tsb, dan setelah menjalani berbagai tes kesehatan yang sangat banyak.

Ya, kami jatuhkan putuskan untuk melakukan transplantasi di Iran, sebuah negeri yang menjadi musuh bebuyutan Amerika dan Israel selama puluhan tahun, dan negara-negara Arab-pun latah mengucilkan Iran dari Timur Tengah. Iran atau Persia adalah negerinya Salman Al Farisi, sahabat Nabi Muhammad yang bukan Arab, sang tokoh teknologi parit pada perang Khandaq.

Bukan, bukan karena Iran adalah negeri Mullah bermadzhab Syi’ah Imamiyah. Karena Arab, Amerika dan Israel sangat akrab dengan Iran ketika negeri itu dipimpin oleh Shah Reza Pahlevi yang menjadi perpanjangan tangan Amerika dan Israel di Timur Tengah, yang menjadikan Iran sebagai New York nya Timur Tengah ketika itu, yang juga mayoritas bermadzhab Syiah.

Keadaan berbalik ketika pada tahun 1979 seorang ulama kharismatik, Imam Khomeini, memimpin revolusi dan menjatuhkan Shah Reza dan mengusirnya ke Amerika dan menjadikan Iran sebagai Republik Islam yang melepaskan diri dari Amerika dan Israel. Dan sejak itu, Iran dikucilkan, di-embargo dan bahkan diperangi hampir seluruh negeri Arab, dan sejak itu pula isu madzhab Sunnah-Syiah dimainkan di Timur Tengah demi kepentingan politik para penguasa Arab dan Barat. Sederhana, karena Iran melawan kepentingan Barat dan Amerika. Andaikan Iran mau berjabat tangan dengan mereka, saya kira ekonomi, teknologi dan kemajuan negeri Persia ini akan jauh diatas seluruh dunia Arab dan Islam saat ini.

Mungkin dalam benak kebanyakan kita, sebuah negeri yang di embargo baik ekonomi maupun militernya sejak 1979 akan porak poranda, masyarakatnya terbelakang dan teknologi mereka jauh di belakang kita. Saya menduga keras itu salah besar. Negeri itu – mohon maaf dengan seluruh penghormatan saya kepada negeri saya tercinta – jauh lebih mandiri dibanding negeri kita, Indonesia. Iran telah memproduksi mobil nasional mereka sejak lama. Iran mampu membuat beberapa Jet tempur, dan peralatan militer canggih tanpa seorang Habibie, dan mampu mengembangkan teknologi nuklir untuk berbagai kebutuhan dalam negeri termasuk pembangkit listrik.

Dalam bidang kedokteran Iran mampu mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan-tujuan medis, dan seperti yang telah disampaikan oleh badan internasional ketenaga nukliran, IAEA (International Atomic Energy Agency), bahwa mereka tidak menggunakannya sebagai bahan senjata nuklir sebagaimana dituduhkan Amerika dan Israel (sebagaimana kebiasaan mereka dalam menuduh). Dan Iran, menurut pak Amien Rais, adalah salah satu dari tiga negeri Muslim yang saat ini masih berdiri tegak melawan hegemoni barat dan Amerika.

Hari Senin 31 Mei 2021 pukul 3 sore saya sudah bisa menjenguk kakak saya di ruang ICU dan anaknya sebagai pendonor di ruang ICU yang lain. Ruang yang sangat bersih dikelilingi kaca bening. Peralatan medis yang computerized memantau terus menerus kondisi organ-organ tubuh pasien. Saya amati peralatan itu; tidak saya kenali merek-merek yang terkenal di Indonesia baik monitor pemantau maupun peralatannya, nampak seperti bahasa Jerman atau Persia.

Kami diminta untuk membeli Jus wortel. Jus? Saya tertegun. Setelah transplantasi pasien disuruh minum jus wortel? Atau dimasukkan ke infus? Pikiran saya tidak karuan karena ke-awam-an saya. Ya, sang perawat meminta dengan tegas dan berlalu tanpa banyak bicara. Saya serahkan dua botol jus yang saya beli di cafetaria. “Gila!”, dalam hati saya.

Belum selesai keheranan saya hingga saya pulang kembali ke apartemen, esoknya saya sudah bisa bicara dengan kakak saya, meski ia berkata dengan terbata-bata. Dengan nada lirih ia sampaikan, ia sudah diminta makan nasi dan kebab khas Iran (daging kambing yang digiling dan dipanggang) dengan tomat bakarnya yang disediakan untuk makan siang. Putrinya telah berjalan ke kamarnya yang bersebelahan, dengan tiga selang keluar dari perutnya, untuk alirkan darah yang masih menetes karena terpotongnya liver, saluran urine dan selang transfusi darah. Ia disuruh berjalan-jalan! Sedangkan di lehernya tertancap tiga selang yang masuk hingga ke tenggorokan, untuk menginfus dan memasukkan cairan obat, dan selang dari perut itu masih mengalirkan cairan berwarna kemerahan. Persis sama dengan sang recipient, kakak saya. Gila!

Saya hanya tercengang. Tidak ada memanjakan pasien dengan bubur ala Indonesia, atau memasukkan cairan untuk makanan melalui infus. No, kata mereka. Organ harus dilatih dan tidak boleh didiamkan. Hari keempat kakak kami diberi sabun, shampoo dan handuk, lalu disuruh mandiri sendiri dibawah shower kamar mandi, sedangkan si pendonor sudah masuk ruang perawatan biasa tanpa infus, dan hari ketujuh ia sudah pergi ke pasar untuk membeli cindera mata!.

Pada hari ke-15 kakak kami seharusnya sudah boleh kembali ke apartment, tetapi tiba-tiba dia merasa sakit di perut. Dengan cekatan sang dokter jaga dan perawat mengambil alat mobile USG dengan monitornya dan segera memeriksa bagian perut. Ada genangan darah di dalam limpa, dan segera sang dokter jaga yang masih sangat muda dan kami tidak pernah lihat sebelumnya itu membius lokal perut pasien, memasukkan selang, memompa darah keluar dan memasukkanya ke kantung. Tidak lebih dari 10 menit, dan beres, tanpa menunggu dokter senior.

Rumah sakit ini bernama “Abu Ali Sina Transplantation Hospital,” diambil dari nama tokoh kedokteran dalam dunia Arab dan Islam, Ibnu Sina. Di Barat orang mengenal kemasyhuran ilmunya dengan nama Avicenna. Kami pilih rumah sakit ini karena kualitas pelayanannya yang kami perlukan dan karena ada seorang dokter yang juga merupakan dokter utama dan dikenal sebagai “the father of transplantation in Iran.” Namanya Prof. Dr. Malek Husseini (semoga Allah memanjangkan umurnya). Di Iran telah lebih dari 3.300 transplantasi berbagai organ dan beliau terlibat lebih dari 10.000 pembedahan. Bagi beliau transplantasi rumit seperti ini, dimana kakak kami memiliki autoimmune liver dengan sisa livernya sebesar 20%, adalah hal yang biasa. Beliau melakukan transplantasi setiap hari Senin, Rabu dan Sabtu dengan jumlah pasien pada hari-hari itu yang mengantri untuk ditransplantasi seperti pasien di dokter umum di klinik di Indonesia. Mayoritas transplantasi organ disini berhasil, dan kegagalan biasanya disebabkan karena keterlambatan dalam pengajuan transplantasi. Yaitu ketika pasien sudah kepayahan, sehingga kemampuan tubuh untuk melakukan self-recovery juga sangat berat.

Kami belum kembali ke tanah air, karena masih harus menunggu sang pasien untuk menjalani rawat jalan selama satu bulan sebelum kembali ke tanah air. Dokter akan memantau liver barunya dan reaksi tubuhnya serta memberikan dosis obat yang tepat setelah tubuh melakukan adjustment terhadap liver barunya. Obat yang harus diminum seumur hidupnya untuk menyeimbangkan enzim livernya, yang jauh lebih baik ketimbang meminum obat untuk mempertahankan sisa livernya jika ia tidak mau melakukan transplantasi.

Saya tuliskan ini dengan harapan kelak Indonesia maju melesat lebih jauh dalam teknologi kedokteran, dan mampu memberikan pelayanan yang maksimal dan murah kepada warganya. Sebagai pembanding, kami sebagai warga asing membayar biaya transplantasi sekitar 60% dari biaya transplantasi di Indonesia. Dan itupun di sebuah private hospital. Sedangkan Cina misalnya, menawarkan biaya sekitar sekitar 10 milyar rupiah atau sekitar seribu persen lebih besar dari biaya di tanah air untuk melakukan transplantasi hati. Tetapi bukan soal biaya semata-mata.

Di rumah sakit Iran ini, meski milik swasta, bukan milik negara, rumah sakit ini adalah sebuah “charity transplantation hospital,” dimana untuk orang-orang miskin gratis atau dengan biaya sangat minim untuk melakukan transplantasi. Tidak heran jika anda ke rumah sakit yang megah dan mewah ini anda akan berbaur dengan orang-orang miskin dengan pakaian lusuh, dengan pelayanan yang sama, yang tidak membedakan orang kaya dan orang miskin.

Saya berharap kelak negeri kita, Indonesia, mau mengirimkan tenaga-tenaga dokter dan perawatnya untuk belajar ke negeri ini dengan waktu yang cukup dan membawa pengalaman dan ilmunya ke tanah air dan membaktikannya untuk tanah air tercinta. Mereka akan membawa pengalaman dalam sains dan juga pengalaman kemanusiaan, baik untuk orang berada maupun kaum papa. Sebuah harapan tulus buah dari pengalaman menyambung hati di negeri Salman Al Farisi [MB2021].

Awal musim panas, Shiraz, 15 Juni 2021

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS