Wednesday, August 3, 2022

PARTAI HIJAU & 'KEAJAIBAN POLITIK' JERMAN KONTEMPORER


Oleh: Manfred Henningsen*)

PENGANTAR
: Saya menerjemahkan sebuah artikel dari Profesor Manfred Henningsen dari Dept. Ilmu Politik Universitas Hawai'i, Manoa, Honolulu, AS. Judul aslinya "Germany’s Political Miracles after WWII" yg substansinya ttg sebuah transformasi yg dilakukan sebuah parpol di Jerman, dari yg semula radikal dan cenderung ke kiri, tetapi kemudian berubah menjadi lebih moderat dan mendapat dukungan publik Jerman. Apakah ini bisa menjadi lesson learned di Indonesia? Silakan disimak dan dikomentari. Trims (MASH).

Dinamika perpolitikan di Jerman pasca Perang Dunia II ditandai dengan serangkaian perkembangan luar biasa. Salah satu buktinya adalah peran yang dimainkan oleh Partai Hijau Jerman (PHJ) dalam pemerintahan Kanselir Olaf Scholz saat ini. Tidak seperti partai Hijau di hampir semua masyarakat Barat lainnya, PHJ telah berhasil mengambil jarak dari latar belakang gerakan sosial dan kritik radikalnya terhadap apa yang disebut “sistem”. PHJ telah menjadi partai politik biasa dan mematuhi aturan sistem, dan bahkan pernah mengkritik kiprah sebagian politisi yang disebut dengan politisi progresif di AS yang dianggap telah merusak agenda arus utama Partai Demokrat di negara Paman Sam tsb. Karena telah menyadari perlunya suatu transformasi internal tsb , PHJ kemudian berhasil diterima oleh sebagian besar pemilih Jerman di semua kelompok umur. Perkembangan politik yang ajaib di Jerman kontemporer ini, sayangnya, tidak terlalu diperhatikan oleh para politisi, jurnalis, dan intelektual Barat. Bahkan orang Jerman sendiri, sebagaimana yang saya saksikan sendiri dalam kunjungan baru-baru ini ke negara kelahiran saya itu, tidak menyadari bahwa sesuatu yang luar biasa sedang terjadi di masyarakat mereka. Dengan kata lain, hemat saya, Jerman kini sedang mengalami sebuah transformasi politik yang tidak hanya akan berdampak besar pada negara anggota Uni Eropa (UE) yang paling kuat secara demografis dan ekonomi itu sendiri. Tetapi, lebih jauh, transformasi tersebut akan berdampak pada seluruh UE.

Bukan hanya itu. Bahkan empat kekuatan pemenang Perang Dunia II, yang secara politis “menduduki” Jerman dengan ratusan ribu tentara sampai reunifikasi pada tahun 1990, seharusnya dapat belajar dari Jerman kontemporer bagaimana mengelola masyarakat mereka sendiri dengan damai dan sukses. Dinamika perpolitikan yang saat ini sedang kacau balau di Amerika Serikat, Inggris, dan bahkan Prancis, menuntut semacam politik pragmatis dan sekaligus visioner yang menjadi ciri khas Jerman kontemporer. Rusia di bawah Vladimir Putin (VP) tampaknya menjadi contoh sebuah kondisi politik yg terpuruk yang hanya dapat disembuhkan oleh gerakan masyarakat sipilnya sebagai tanggapan atas kinerja militernya yang memuakkan di Ukraina. Namun skenario ini tampaknya bertahan pada saat ini di masa depan yang jauh.

Menurut sebuah jajak pendapat terbaru yang diterbitkan oleh majalah berita, Der Spiegel (25 Juni 2022), ada tiga politisi yang terpopuler di belakang Presiden Steinmeier dan menjadi anggota Kabinet Kanselir Olaf Scholz. Ketiganya bukan anggota Partai Sosial Demokrat (SPD) tapi tergabung dalam Partai Hijau Jerman. Mereka adalah Wakil Rektor dan Menteri Ekonomi dan Energi, Robert Habeck; Menteri Luar Negeri, Annalena Baerbock, dan Menteri Pertanian, Cem Oezdemir. Ketiga politisi ini adalah anggota partai yang muncul dari gerakan radikal lingkungan Hijau, anti-nuklir, dan aktifis perdamaian sosial tahun 1970-an. Gerakan sosial ini telah mengatasi perpecahan internal antara apa yang disebut 'Realos' dan 'Fundis', realis ekologis, dan fundamentalis, yang sempat akan mengoyak keutuhan gerakan itu. Namun perpecahan tersebut telah dianggap menjadi ciri masa lalu.

Di sisi lain, ketegangan ideologis masih mewarnai partai-partai di ekstrem kiri dan kanan: Linke (Kiri) dan AfD (Alternatif untuk Jerman). Kedua kubu tersebut terlibat dalam pertarungan ideologis internal yang ujung-ujungnya hanya menunjukkan semakin tidak relevannya mereka dalam politik Jerman. Namun demikian, hemat saya, baik Linke maupun AfD tidak merupakan ancaman bagi stabilitas tatanan politik seperti yang dilakukan oleh sayap kiri Prancis di bawah Jean-Luc Melenchon dan sayap kanan di bawah Marine Le Pen dalam pemilihan Parlemen baru-baru ini di Prancis. Bisa dikatakan bahwa jika kita membandingkan dinamika perpolitikan Jerman dengan Perancis, Italia, Inggris, atau bahkan dengan Amerika Serikat pun, maka Jerman adalah negara Barat yang saat ini paling stabil.

Namun “keajaiban politik” baru Jerman ini tidaklah serta merta identik dengan stabilitas sistem politik itu sendiri. Bagaimanapun juga transformasi Gerakan Hijau, yang kini menjadi partai politik yang telah mau menerima aturan dan kondisi sistem politik, dahulunya juga pernah memertanyakan legitimasi eksistensialnya. Mereka kini telah menjadi bagian dari sistem dan diakui oleh mayoritas pemilih Jerman, terutama yang masih berada di bagian Barat negara itu, sebagai kekuatan politik yang layak dan terpercaya. Yang juga luar biasa dalam fenomen ini adalah fakta bahwa salah satu dari ketiganya, Cem Oezdemir, menggarisbawahi keberhasilan integrasi warganegara dengan latar belakang migran dalam masyarakat Jerman. Ia lahir di Jerman sebagai putra dari orang tua Turki-nya yang datang ke negara itu sebagai pekerja tamu pada 1960-an. Fakta ini ini juga yang melatarbelakangi Aminata Toure, 29 tahun, putri kelahiran Jerman dari orang tua migran Afrika, yang baru saja diangkat menjadi Menteri Sosial di negara bagian Schleswig-Holstein, setelah menjadi Wakil Presiden di Parlemen negara bagian tsb.

Salah satu kepiawaian Wakil Kanselir Hijau dan Menteri Urusan Ekonomi dan Aksi Iklim, Robert Habeck, ditunjukkannya saat diwawancarai oleh majalah berita Der Spiegel tentang krisis energi yang tidak dapat diprediksi namun pasti yang akan melanda Jerman pada musim gugur dan musim dingin ini. Cara dia menanggapi pertanyaan tentang kelemahan antisipasi untuk konsumen swasta dan bisnis menunjukkan daya tariknya terhadap para pemilih terutama di Barat negara itu. Dia tidak mengelak tetapi mengkonfirmasi kekurangan yang diakibatkan oleh pengurangan pengiriman gas dan minyak Rusia. Namun berbicara pada akhir Juni kepada para pekerja kilang utama di Timur, yang akan menjadi korban dari penghentian pengiriman gas Rusia, dia jutru disambut meriah oleh para pekerja yang sebelumnya memprotes!.

Kebijakan energi Habeck ini merupakan respon politik Jerman terhadap invasi berdarah oleh Valdimir Putin di Ukraina dan awalnya dikritik oleh Amerika dan sekutu lainnya karena implementasinya yang lambat, telah diidentifikasi secara publik sebagai penyebab kenaikan harga konsumen dan masalah pengiriman di sektor-sektor utama ekonomi. Habeck menekankan keberadaan masalah ini dan kelanjutannya. Dia tidak menolak jawaban dan menegaskan kesuraman prediksi. Dia tidak ragu-ragu untuk menguraikan langkah-langkah sulit yang akan dia rekomendasikan dan bersedia untuk diterapkan. Dia juga menegaskan komitmen untuk perluasan sumber energi alternatif dan menunjukkan pragmatisme politik tanpa melupakan biaya sosial yang besar akan menyebabkan tindakan ini.

Habeck, Baerbock, dan Oezdemir mewakili kelas politisi baru yang komitmen politiknya dapat diidentikkan dengan pragmatisme. Namun para pragmatis Hijau Jerman tsb berbeda dari rekan-rekan Anglo-Amerika mereka. Pragmatisme Anglo-Amerika, yang didefinisikan oleh salah satu pendirinya, filsuf Inggris Charles Saunders Peirce, pada awal abad ke-20, sebagai realisme tanpa ide moral.
Habeck dan rekan-rekannya dari Partai Hijau memang pragmatis, namun mereka tidak pernah melupakan konsekuensi moral ekologis, sosial, dan keseluruhan dari tindakan mereka. Mereka tidak melupakan visi komprehensif 'Hijau' tentang dunia dalam masalah yang hanya dapat diselamatkan dari kehancuran lingkungan dengan tindakan politik yang mengakui sifat terminal dari ancaman tersebut.

Berkaca pada dimensi moral identitas politik mereka, trio 'Hijau' di kabinet Scholz menyadari sejak invasi terhadap Ukraina oleh Vladimir Putin diluncurkan pada 24 Februari, yaitu bahwa aksi tersebut harus dihentikan. Scholz ragu-ragu untuk beberapa waktu untuk berkomitmen pada penghentian pipa Nordstream-2 namun alhirnya memberikan pidatonya yang terkenal "Zeitenwende" di Parlemen Jerman, Bundestag, dengan janji meningkatkan anggaran militer sebesar 100 miliar Euro beberapa hari setelah invasi dan menyatakan dukungan tanpa syarat untuk pertahanan Ukraina melawan penjajah berdarah. Dia mungkin mula-mula ragu-ragu karena menghormati warisan pasifis Jerman pasca-Perang Dunia II dan terutama inisiatif kebijakan luar negeri Sosial Demokrat oleh dua kanselir Sosial Demokrat, Willy Brandt (1969-1974) dan Helmut Schmidt (1974-1982). Kenangan tentang pemuda kiri radikalnya sendiri mungkin telah menambah keengganannya. Bahkan pada pertemuan G7 di Jerman yang dia pimpin pada bulan Juni, dia tidak bisa mengeluarkan pernyataan untuk mendukung pemenangan Ukraina. Sebaliknya, dia hanya menyatakan bahwa Putin seharusnya tidak menang.

Namun para anggota Partai Hijau dari kabinetnya bersikeras bahwa Ukraina harus menang. Kompas moral mereka memberi tahu mereka bahwa pelajaran dari Perang Dunia II dan sejarah Nazi Jerman harus menjadi pelopor penolakan yang jelas untuk berkompromi dengan para pemimpin seperti Putin. Perilakunya yang sembrono dan kejam serta perilaku kejam tentara Rusia mengingatkan mereka pada Hitler dan Nazi yang sebenarnya, yakni Putin yang melancarkan perang di Ukraina.

*) Professor Emeritus
    Department of Political Science
    University of Hawaii at Manoa
    Honoluli, HI, USA
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS