Thursday, August 21, 2025

STRATEGI "DAMAI TANPA GENCATAN SENJATA"?: DIPLOMASI TRUMP HENTIKAN PERANG RUSIA-UKRAINA

Pertemuan antara dua pemimpin negara adikuasa, Presiden Trump dan Presiden Putin yang oleh Jubir Gedung Putih, Karoline Leavitt, disebut sebagai sebuah "latihan untuk mendengar" (listening excercise) berlangsung Pangkalan Bersama Elemendorf-Richardson, Alaska, AS, pada 15 Agustus 2025.
Berbagai analisis telah bermunculan baik sebelum, pada saat, dan sesudah pembicaraan sehari tsb, termasuk berbagai spekulasi dan kontroversi yg melingkupinya. Salah satu keluaran yg kini banyak dibicarakan, tak pelak lagi, adalah perbedaan pendekatan strategis tentang bagaimana mengupayakan perdamaian yang akan mengakhiri perang terbuka Rusia vs Ukraina yg telah berjalan lebih dari dua setengah tahun itu. Pihak Ukraina menginginkan jalan damai ditempuh dengan menghentikan serangan dari pihak lawan (Rusia), sementara Rusia menolaknya.


Presiden Trump, yang mengklaim dirinya sang juru damai, akhirnya mengatakan kepada publik bahwa pertemuan Alaska tsb tak membuahkan kesepakatan (deal) antara kedua pihak yg berkonflik. Namun demikian tak ada salahnya bila kita mencoba mengulik diplomasi Trump dengan pertanyaan berikut: Bagaimana kemungkinan upaya damai dalam rangka mengakhiri perang Rusia vs Ukraina tanpa melibatkan unsur gencatan senjata?

1. Sikap Trump yang Berubah-ubah
Bukan Trump namanya kalau tidak sering membuat pernyataan-pernyataan terkait kebijakan publik yang "esuk dhele sore tempe" alias berubah-ubah dengan cepat. Terkini, pernyataan yang dilontarkannya setelah pertemuan puncak dengan Presiden Putin di Alaska dan, setelah itu, berikutnya dengan Presiden Ukraina, Volodymir Zelenskyy, merupakan contoh yang tentu bukan pertama dan terakhir kalinya. Awalnya, Trump menekankan perlunya gencatan senjata dan bahkan terkesan mengancam terjadinya apa yang disebutnya sebagai "konsekuensi yang sangat berat" jika Rusia tidak menyetujuinya dalam jangka waktu tertentu.

Namun, pasca pertemuannya dengan Putin, ia ternyata cenderung mengambil sikap “menyesuaikan diri” dengan posisi lama Kremlin: Negosiasi harus difokuskan pada perjanjian perdamaian yang komprehensif, alih-alih penghentian sementara pertempuran atau gencatan senjata antara pihak yang berperang. Trump dengan terang-terangan membenarkan hal ini dengan menyatakan bahwa gencatan senjata "acap kali tidak efektif."

Pergeseran sikap ini, secara efektif, berarti mengadopsi kerangka kerja negosiasi yang lebih cocok dengan sikap Moskow, yang secara historis ditolak oleh Ukraina dan sekutu-sekutunya di Eropa. Sebagai pihak yg oleh Ukraina dkk diharapkan menjadi penopang utama, Trump dan sikapnya tentu akan dianggap membahayakan mereka. Presiden AS itu seakan mengamini sikap yang memaksa perundingan tetap berlangsung dalam kondisi dimana Rusia terus melanjutkan operasi militernya, yang berarti juga mempertahankan tekanan terhadap Ukraina di medan perang.

2. Siapa yang Diuntungkan secara Strategis?
Dari perspektif strategis, dengan mengabaikan tuntutan gencatan senjata maka bisa diprediksi bahwa posisi ini secara fundamental cenderung akan lebih menguntungkan Rusia. Mengapa demikian? Gencatan senjata jelas akan memberikan peluang terhadap datangnya bantuan kemanusiaan, menghentikan jatuhnya korban jiwa setiap hari terutama di pihak Ukraina, dan berpotensi menghentikan pergerakan di garis depan.

Sebaliknya, apabila tanpa kondisi tersebut, Rusia akan tetap bisa mempertahankan inisiatif militernya di samping melanjutkan ofensifnya yang, kendati lambat, terus menggebu di wilayah Ukraina Timur, yang memungkinkan meraih keuntungan teritorial secara bertahap sementara negosiasi berlarut-larut.

Dinamika ini akan menempatkan Ukraina dalam posisi tawar yang lebih lemah, karena ia akan dipaksa untuk menegosiasikan perdamaian permanen di bawah ancaman terus-menerus berupa meningkatnya kerugian militer dan perpecahan teritorial. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Rusia saat ini menguasai hampir 20% wilayah Ukraina. Ditambah lagi dengan adanya usulan Putin bahwa agar terjadi perdamaian "abadi" Ukraina harus mau menyerahkan seluruh wilayah Donbas (Donetsk dan Luhansk) dan mengabaikan aspirasinya untuk bergabung dengan NATO!.

Dalam pandangan Ukraina, menerima persyaratan ini sambil berada di tengah serangan Rusia, dapat dianggap melegitimasi pendudukan teritorial dan kemungkinan akan dipandang secara
domestik sebagai penyerahan diri yang katastrofik, serta otomatis berpotensi melanggar konstitusinya yang mewajibkan referendum untuk setiap konsesi teritorial.

3. Ukraina dan Pengalaman dari Perdamaian yang “Cacat"
Pergesearan sikap Trump bisa dikatakan sebagai langkah mengabaikan pelajaran dari sejarah yang paling mutakhir. Tahun 2015, dilakukan sebuah perjanjian yg dikenal dengan nama Perjanjian Minsk II yang ternyata dianggap telah gagal. Ia dimaksudkan untuk membawa perdamaian ke wilayah Donbas, tetapi pada akhirnya menjadi konflik terpendam yang justru memungkinkan Rusia mengonsolidasikan kendali atas wilayah yang didudukinya, membangun kembali militernya, dan meletakkan dasar bagi invasi skala penuh pada tahun 2022.

Karena itu perjanjian perdamaian yang dinegosiasikan Trump tanpa gencatan senjata secara luas itu dikhawatirkan oleh pihak Ukraina dan Negara-negara Eropa akan mengulang terjadinya perdamaian “cacat" yang sama, yang hanya berfungsi tak lebih sebagai jeda sementara yang tak mampu mengatasi akar utama konflik: Ekspansi Rusia dan pelanggaran kedaulatan serta kebutuhan keamanan Ukraina.

Perjanjian semacam itu sangat diragukan memiliki mekanisme penegakan yang kuat, dan hanya didukung sedikit bukti yang bisa menunjukkan bahwa Putin akan mematuhi kesepakatan apa pun yang tidak sepenuhnya mensubordinasikan kebijakan luar negeri Ukraina dan menyerahkan wilayah yang signifikan. Pihak Ukraina curiga bahwa sebagaimana dalam perjanjian-perjanjian sebelumnya, Rusia menggunakan diplomasi sebagai alat untuk mengulur waktu dan mempersiapkan agresi lebih lanjut, alih-alih untuk mencapai perdamaian sejati.

4. Dampak Politik Transaksional Model Trump
Pernyataan Trump juga harus dianalisis dalam konteks filosofi dan hubungan politik yang dimilikinya sebagai pribadi. Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa Trump dikenal dengan pendekatan transaksionalnya, termasuk dalam kebijakan luar negeri dan keinginannya untuk mencapai "kesepakatan" (deal making). Ia secara terbuka menyatakan kekagumannya kepada Putin dan sebelumnya mengklaim berjasa dalam mengakhiri konflik lain tanpa gencatan senjata, menunjukkan keyakinannya pada kehebatan pribadinya dalam membuat kesepakatan.

Namun, sikap ideosincracy ini, disadari atau tidak, telah menyumbang pada munculnya keretakan yang signifikan AS dengan sekutu-sekutu Eropa, yang bergabung dengan Zelenskyy di Washington untuk melawan dengan tegas. Kanselir Jerman Friedrich Merz dan Presiden Prancis Emmanuel Macron secara eksplisit menyatakan bahwa gencatan senjata merupakan prasyarat penting untuk setiap negosiasi serius dengan Rusia.

Perbedaan pendapat ini mengancam akan memecah belah persatuan Barat, yang sejatinya sangat krusial bagi Ukraina dalam mempertahankan dukungan militer dan ekonomi kepada negeri tsb, dan dapat berpotensi membuat Ukraina semakin terisolasi dan rentan terhadap tuntutan Rusia.

5. Prospek Perdamaian Tanpa Gencatan Senjata
Dalam tempo cepat, prospek pencapaian tujuan perdamaian Rusia-Ukraina tanpa melibatkan unsur gencatan senjata sangatlah dipertanyakan. Persoalan pokoknya adalah bahwa tujuan tersebut akan mengharuskan Ukraina membuat keputusan yang berdampak yang “monumental” terhadap kedaulatan dan integritas teritorialnya di bawah tekanan perang yang sedang berlangsung. Padahal opini publik di Ukraina sangat menentang konsesi teritorial, sebagaimana jajak pendapat publik yang menunjukkan sekitar 75% menentang penyerahan wilayah apa pun kepada Rusia (69%). Menegosiasikan perjanjian damai yang kompleks dan komprehensif yang melibatkan jaminan keamanan, perbatasan, dan status politik sementara rudal berjatuhan dan tentara gugur secara logistik hampir mustahil dan, sudah pasti, sarat dengan beban moral.

Kendati Trump secara umum telah menyiratkan keterlibatan AS dalam jaminan keamanan untuk Ukraina, tetapi detailnya tetap masih samar. Sementara itu, sebaliknya, sikap Rusia telah dengan tegas menolak kehadiran pasukan NATO di negara itu, padahal faktor adanya payung keamanan itu kemungkinan merupakan komponen dari jaminan keamanan (security guarantee) yang sangat berarti.

Tanpa gencatan senjata untuk menciptakan lingkungan yang stabil bagi diplomasi, perjanjian apa pun yang tergesa-gesa dalam kondisi ini kemungkinan besar akan menjadi penyerahan diri yang dipaksakan yang menabur benih konflik di masa depan, alih-alih perdamaian abadi yang dibangun di atas kesepakatan bersama dan penghormatan terhadap hukum internasional.

Simak tautan ini:

1. After meeting Putin, Trump changes his position
(https://www.npr.org/2025/08/17/g-s1-83183/putin-trump-ceasefire)
2. Trump, Putin meeting in Alaska ends without a ceasefire deal
https://www.youtube.com/watch?v=Yu5_EvkGDyw
3. Trump pursues peace deal after leaving Alaska without ceasefire pact
(https://www.bbc.com/news/articles/ce836yz8r69o)
4. Trump-Putin summit in Alaska ends with no deal on Ukraine ceasefire
https://www.cbsnews.com/live-updates/trump-putin-meeting-alaska-ukraine/
5. No deal, and no answers, after brief Trump-Putin talks on Ukraine in Alaska
https://www.theguardian.com/us-news/2025/aug/15/trump-putin-alaska-meeting-ukraine
Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS