Wednesday, May 7, 2008

KABAR DARI LA JOLLA, CALIFORNIA (3)

DSCN3193  Hotel Estancia, La Jolla, CA. 

1. Sabtu-Minggu, 3-4 Mei 2008: Sabtu malam minggu saya habiskan dengan menghadiri acara gala reception yang diselenggarakan IR/PS untuk menutup acara ultah ke 20nya. Kali ini acara diselenggarakan di Taman Aquarium Birch (Birch Aquarium) di La Jolla yang telah menjadi "langganan" untuk acara-acara serupa di UCSD. Arena yang sangat meneyenangkan untuk acara keluarga ini, dengan aquarium yang dipenuhi berbagai fauna dan flora laut, pemandangan pantai yang mempesona dan tempat untuk berselancar (surfing), layak kalau menjadi klangenan komunitas kampus. Berapa sewa tempat untuk gala di Birch Aquarium ini, saya iseng bertanya kepada salah seorang faculty member (dosen) yang hadir di sana. Sekitar US  $ 10.000 kalau untuk umum, tetapi untuk komunitas kampus UCSD bisa separuhnya. Bagi saya tentu sudah lumayan mahal jumlah yang hampir seratus juta rupiah hanya untuk menyewa ruangan selama tiga atau empat jam, padahal bukan di sebuah ballroom hotel berbintang. Tapi tentu masalah mahal murah menjadi relatif dalam konteks ekonomi yang jauh berbeda antara Amerika dan Indonesia. Pesta penutupan jauh lebih meriah ketimbang resepsi-respsi sebelumnya, karena dalam kesempatan ini beberapa Awards diumumkan dan dianugerahkan kepada yang berhak: alumni IR/PS; pemenang lomba penulisan untuk mahasiswa IR/PS; dan lain sebagainya. Selain itu juga ada pengumuman dari organisasi para alumni IR/PS tentang berbagai capaian mereka selama beberapa tahun terakhir dan rencena persiapan ultah yang ke 25 yang akan diselenggarakan lima tahun yang akan datang!

Hari Minggu ini, saya hampir seharian tinggal  di apartemen untuk bebersih. Sudah lama sekali (sejak pulang dari Hawaii tahun 1995) saya tidak melakukan kerja seperti mencuci baju, menyetrika, membersihkan tempat tidur, dan membuang sampah secara rutin. Untung saja pengalaman melakukan hal-hal seperti itu ketika masih di Honolulu masih tersimpan dalam memori, walaupun tentu sekarang tidak secepat dulu untuk mengerjakan semuanya. Usia dan jarang praktik sangat mempengaruhi kecepatan saya bekerja. Toh, sekitar jam 12.00 saya sudah bisa bernafas lega, karena semua pekerjaan rumah tangga selesai, bahkan makan siang pun sudah siap: pizza dan sosis. Siapapun yang dulu menemukan mesin pemanas yang bernama Microwave, harusnya mendapat hadiah Nobel karena telah menyelamatkan orang-orang seperti saya di seluruh dunia! Selepas lohor, saya mencoba keluar apartemen mencari secangkir capuccino di Starbucks yang hanya duapuluh meter jauhnya dari pintu masuk halaman kondominium. Saya jadi ingat saat-saat di Hawaii kalau hari minggu tiba dan tidak ada kesibukan, saya akan ke Alamoana, mall terbesar di Honolulu, dan nongkrong di salah satu kafe sambil membaca The New York Times edisi Minggu yang tebalnya minta ampun itu sambil menyeruput cappucino atau kopi hitam. Biasanya dibutuhkan sekitar dua tiga jam, tergantung mood, untuk menghabiskan NYT edisi Minggu, itupun biasanya hanya artikel-artikel pilihan dan review buku saja yang saya baca. Sekarang, dengan adanya website, saya tak lagi merasa perlu menghabiskan waktu untuk membaca NYT di hari Minggu, karena bisa menggunakan internet setiap saat. Hanya soal ngopi di kafe pada hari Minggu tetap menjadi favorit saya sampai sekarang, apakah di Jakarta atau dimana saja. Seperti juga hari ini, nongkrong di Starbucks samping apartemen. What a day!

2. Senin, 5 Mei 2008: Minggu kedua program fellowship sudah tiba. Pagi ini saya kembali mencoba menggunakan bis shuttle dari apartemen ke kampus dan rasanya normal-normal saja setelah tiga empat kali wira-wiri seminggu ini. Udara masih juga dingin dan hari ini justru ditambah mendung. Tampaknya cuaca di La Jolla di musim semi agak berbeda dengan kota lain karena sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu air laut, dan udara dingin di ujung musim semi sudah biasa. Ada istilah yang populer di La Jolla dan San Diego soal cuaca ini: "May is gray, June is gloom," artinya bulan Mei adalah (bulan) kelabu, bulan Juni adalah (bulan) muram. Tak heran jika hari ini mendung tiba-tiba datang dan membuat langit La Jolla berubah kelabu. Matahari yang seminggu belakangan mencorong, hari ini tak kelihatan batang hidungnya. Kampus masih lengang ketika saya sampai di perpustakaan pusat UCSD. Minggu-minggu ini adalah masa ujian untuk mahasiswa karena sistem perkuliahan di Universitas ini adalah Quarter System, bukan Semester System. Perpustakaan, seperti lazimnya di seluruh universitas di AS, akan dibuka lebih pagi dan tutup lebih malam dari biasanya. UCSD memiliki perpustakaan yang termasuk sangat modern dan besar dengan arsitektur post modern: dari jauh seperti sebuah pesawat UFO yang sedang mau mendarat ke bumi. Perpustakaan Giesel (Giesel Library) semula bernama University Library (Perpustakaan Universitas) dan dibangun tahun1960 dengan arsitek William Perreira. Gedung berlantai delapan dengan model persegi delapan ini menjadi pusat perpustakaan UCSD yang berjumlah sepuluh buah dan pada 1995 disempurnakan lagi oleh perancang Gunnar Birkets. Tahun itu juga perpustakaan pusat tersebut diganti namanya dengan Perpustakaan Giesel, sebagai penghormatan kepada Dr. Theodor "Seuss" Giesel dan isterinya Audrey Giesel yang menyumbangkan sebagian kekayaann mereka untuk UCSD. Dr. Seuss, sebagaimana diketahui, sangat dikenal dalam dunia pendidikan di AS khususnya karena buku-buku cerita anak-anak yang menjadi bacaan wajib di seluruh negeri itu, mulai dari TK sampai tingkat SD. Cerita-cerita seperti "The Cat in the Hat," "Gertrude McFuzz," "Yertle the Turtle," untuk menyebut tiga diantara yang terkenal, sangat mempengaruhi dunia fantasi dan kreasi anak-anak Amerika sampai sekarang. Dr. Seuss, yang lahir dan besar di La Jolla dan berhasil menjadi beken dan miliuner, menyumbangkan kekayaannya untuk pengembangan pendidikan anak. Tepatlah bila kemudian UCSD mengabadikan nama suami isteri pencinta pendidikan anak-anak tersebut untuk Perpustakaan Pusatnya.

Pagi yang kelabu dan dingin tak dapat mencegah sebagian mahasiswa untuk menindas kantuk mereka dan tetap datang ke perpustakaan. Saya hanya sebentar saja mampir untuk melihat-lihat karena harus ada janji dengan Prof. Barbara Walter, pengajar IR/PS, untuk berbincang. Prof. Walter adalah spesialis bidang kajian perang sipil dan keamanan internasional, dan masalah terorisme. Perempuan muda beranak satu ini, lulus dari Universitas Chicago dan selama berkarir di UCSD telah menulis beberapa buku tentang bidang kajiannya. Buku terakhir yang akan terbit tahun ini berkaitan dengan negosiasi dalam resolusi konflik. Salah satu bukunya, Committing to Peace: The Successful Settlement of Civil Wars. Princeton University Press, 2002., termasuk buku ilmiah terbaik di bidangnya menurut Choice Magazine. Beliau ingin tahu masalah politik Indonesia karena akhir bulan Mei ini akan mengunjungi beberapa negara seperti Timor Leste, Indonesia, Australia, dan Micronesia dalam rangka mengikuti para relawan yang dikoordinasi oleh LSM Doctors Without Borders (DWB). Sambil sarapan kedua di Restoran Hotel Estancia, Prof Walter memberondong saya dengan pertanyaan mengenai Timor Leste khususnya sewaktu di bawah Indonesia masa Orde Baru. Yang paling menarik perhatiannya sebagai pakar tentang keamanan internasional adalah kenapa Indonesia masih mau menguasai Timtim pada akhir delapan puluhan ketika ancaman komunis di kawasan Pasifik sudah habis dan bahwa kekayaan alam daerah itu tidak terlalu banyak. Saya menjawab bahwa mungkin karena Indonesia masih merasa dilindungi oleh AS dan didukung Australia, selain karena Pemerintaha Soeharto juga menganggap Timtim telah menjadi bagian negara RI dan mengalami proses pembangunan yang demikian pesat dibanding ketika di bawah jajahan Portugal. Indonesia harus menelan pil pahit manakala AS kemudian "meninggalkan" Indonesia dan Australia "mencabut" dukungannya dan bahkan meminta Presiden BJ Habibie untuk melepaskan Timtim dari pangkuan RI. Bagi saya, kesalahan Pemerintah RI adalah terlampau percaya kepada negara besar seperti AS bahwa janji dan dukungan yang diberikan akan tetap bertahan seterusnya. Padahal sudah banyak bukti bahwa janji-janji dalam politik internasional sama sekali tidak dapat dipegang. Nasib yang dialami Shah Reza Pahlevi (Iran), Presiden Ferdinand Marcos (Filipina), dan sebelumnya Jenderal Lon Nol (Kamboja) semuanya membuktikan betapa dukungan dari penguasa negara adidaya seperti AS dengan mudah dicabut ketika terjadi krisis. Rakyat Indonesia pada umumnya tidak merasa ikut dilibatkan dalam masalah Timtim, tidak seperti dalam kasus Aceh dan bahkan Papua, sehingga rasa memiliki (sense of belongingness) terhadap wilayah itu pun tidak terlalu kuat. Selain Penguasa Orba yang didukung oleh Golkar dan TNI, barangkali sulit mencari pendukung yang betul-betul serius dalam pendudukan bekas wilayah Portugal itu.

Apakah permasalahan Timor Leste masih penting bagi kebijakan polugri RI? Menurut pandangan saya, sebetulnya sama sekali tidak. TimorLeste adalah negara merdeka, tetapi juga bisa disebut sebagai sebuah negara gagal (failed state), ditinjau dari segi politik, keamanan, apalagi ekonomi. Indonesia hanya memiliki kepentingan agar tidak terjadi peluberan dan pengembangan tak terkendali dari konflik politik dan kebangkrutan ekononomi di negeri baru itu. Secara politik dan keamanan, Indonesia tidak menganggap Timor Leste sebagai ancaman dan malahan bisa memberikan bantuan langsung karena proksimitasnya yang dekat sebagai negara tetangga. Memang ada ganjalan psikologis antara RI dan Australia dalam kasus kemerdekaan Timor Leste, karena ada pandangan negatif dari sebagian rakyat Indonesia terhadap Australia yang dianggap "berkhianat" dan tidak dapat dipercaya sebagai negara sahabat dan tetangga dekat. Toh, ganjalan psikologis itu pelan tapi pasti terus diupayakan untuk disembuhkan, terutama saat ini pemerintahan partai buruh di bawah PM Kevin Rudd cenderung lebih low profile ketimbang pemerintah PM Howard yang dianggap banyak pihak cenderung arogan dan berpretensi sebagai alat AS di Pasifik. Ke depan, pemimpin dan rakyat Timor Leste harus dapat mencari solusi agar dapat keluar dari situasi negara gagal dan dapat bersama-sama negara-negara ASEAN dan Pasifik menjadi bagian pemecahan masalah dan tidak bagian dari masalah.

3. Jam 11.00: Tak terasa, saya dan Prof. Walter sudah menghabiskan waktu lebih dari dua jam ngobrol di restoran sehingga sajian sarapan sudah diganti dengan persiapan sajian makan siang. Restoran Hotel Estancia menyajikan masakan ala Mexico dengan porsi yang terlalu besar untuk ukuran orang Asia seperti saya. Dengan "terpaksa" sarapan chicken taco yang saya pesan harus dibungkus untuk dibawa pergi, karena sayang masih begitu banyak padahal harganya juga lumayan mahal. Sambil menunggu bungkusan, obrolan dilanjutkan dengan menyinggung perkembangan konflik Aceh dan beberapa daerah seperti Papua, Poso, dan  Maluku. Prof Walter sangat tertarik bagaimana Aceh setelah GAM melakukan MoU dan ikut dalam proses politik sesudah damai dengan RI. Juga perbedaan antara masalah tuntutan otonomi di Papua dengan Aceh dari sisi keamanan dan integrasi nasional. Saya mengatakan bahwa ada perbedaan fundamental dan historis antara dua wilayah tersebut dan untuk jangka panjang, masalah Papua akan lebih serius bagi Indonesia di arena internasional, karena keterlibatan aktor-aktor dari negara besar seperti AS, Australia, EU dan non negara seperti LSM-LSM di Indonesia dan di luar negeri. Kendati demikian, kasus Papua sebenarnya lebih berakar pada kekeliruan kebijakan Pemerintah RI dalam memberikan perhatian kepada rakyat asli berupa peningkatan kesejahteraan, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Aspirasi politik di Papua berpotensi "meledak" karena pendekatan keamanan dari rezim Orde Baru yang belum seluruhnya berubah dengan pendekatan kesejahteraan, kendati otonomi khusus sudah berjalan hampir satu dasawarsa. Realitas demografi dan etnisitas di Papua tidak memungkinkan terjadinya eskalasi perlawanan yang besar dan tunggal seperti Aceh, karena kemajemukan penduduk asli. Tetapi jika soal kesejahteraan dan kebersamaan antara rakyat di Papua dan rakyat di tempat lainnya di Indonesia tidak dipecahkan secara menyeluruh, maka potensi keresahan dan kerusuhan akan tetap kuat.

Sambil berjalan ke Robinson Building, saya dan Prof Walter melanjutkan obrolan, kali ini soal Poso dan Maluku. Dua wilayah ini mengalami pergolakan horizontal yang dibungkus dengan isu agama dan etnis. Konflik di dua daerah ini lebih karena adanya kesenjangan ekonomi yang muncul karena persaingan antara pendatang dan penduduk asal dan diprovokasi oleh sentimen primordial, agama dan suku. Masalah menjadi berlarut-larut manakala pemerintah pusat tidak segera bertindak tegas menghentikan tindak kekerasan yang menggunakan kedok agama, sehingga kerusuhan dan korban melonjak jumlah dan intensitasnya. Konflik tersebut juga mengalami internasionalisasi ketika ada bukti keterlibatan pihak luar dalam mensuplai senjata-senjata melalui penyelundupan. Komplikasi masalah semakin menjadi-jadi setelah kelompok-kelompok garis keras agama baik Islam maupun Kristen dari luar daerah itu juga terlibat dalam konflik dengan alasan solidaritas dengan saudara seiman mereka.  Kekerasan dan kerusuhan baru bisa diatasi ketika Pemerintah benar-benar melakukan tindakan tegas terhadap para pembuat teror dan kekerasan dari kedua belah pihak. Jelaslah bahwa konflik-konflik kedaerahan di Indonesia memiliki nuansa-nuansa dan latar belakang yang berbeda beda. Namun menurut hemat saya, keliru kalau dinamika tersebut lantas ditafsirkan bahwa integritas nasional RI tidak kuat landasannya. Bagi saya, permasalahan dasar dari pergolakan daerah sejak era kemerdekaan sapai sekarang muncul karena adanya rasa ketidak adilan sosial dan ekonomi. Jika otonomi daerah yang dilaksanakan pada masa Reformasi sekarang tidak secara tepat menuntaskan masalah dasar ini, maka berarti potensi konflik di daerah akan juga sulit dihilangkan.

4. Jam 17.00. Saya harus kembali ke apartemen untuk bersiap menghadiri acara jam 19.00 malam ini, yaitu menghadiri Burke Lecture (cermah ilmiah Burke) dari Prof. Khaled Abou El Fadl mengenai Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia. Prof. Abou El Fadl adalah Mahaguru Hukum pada Omar and Azmeralda Alfi Universitas California di Los Angeles (UCLA), seorang pemikir sekaligus otioritas terkemuka di AS dalam hukum Islam dan hak-hak asasi manusia serta penceramah laris yang sangat sering berkeliling di kampus-kampus universitas terkemuka di Amerika maupun di negara Muslim di Timteng, Afrika, dan Adia seperti Malaysia dan Indonesia. Saya akan melaporkan perjumpaan saya dengan beliau dalam posting selanjutnya.

 

(bersambung)

 

m.a.s.h

Share:

0 comments:

Post a Comment

THF ARCHIVE

FP GUSDURIANS